Etika Diruang Kendali
Pagi ini saya membaca sebuah artikel menarik yang di tulis oleh Rebecca Grand dua tahun yang lalu yang membahas tentang Etika di ruang bersalin, tentang kekerasan /abuse/violent yang terjadi di ruang bersalin serta membahas tentang siapa yang memegang kendali saat seorang ibu bersalin.
Anda bisa membacanya dengan lengkap disini
namun saat ini, saya akan mencoba menceritakan kembali tentang kisah yang saya baca ini, lalu mencoba mengajak Anda untuk merenungkannya.
#true story
Jadi critanya, ada seorang ibu namanya Turbin dari daerah Los Angeles, suatu sore saat dia hendak makan malam bersama temannya menikmati hidangan seafood di deket pelabuhan, ternyata tiba tiba ketubannya pecah dan alhasil, dia tidak jadi makan malam, namun pergi ke sebuah rumah sakit.
Begitu sampai di rumah sakit, dia berharap di perlakukan dengan lembut (mengingat dia latar belakangnya adalah korban pemerkosaan, jadi dia punya trauma yang mendalam berkaitan dengan reproduksi), namun yang terjadi adalah petugas kesehatan di rumah sakit itu sangat kasar memperlakukannya, dan bahkan dia dipaksa untuk di infus dan di pasang epidural.
Lalu saat proses persalinan terjadi, tanpa permisi, dokter yang menanganinya melakukan episiotomy. bahkan melakukannya dengan menggunting berulang kali (mungkin guntingnya tumpul saat itu sehingga episiotomi di lakukan beberapa kali guntingan) dan itu terasa sangat sakit, bahkan ibunya Turbin pun menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa anaknya di lakukan episiotomy beberapa kali tanpa permisi dan bahkan di paksa.
Karena Turbin trauma dan efek episiotomy ternyata masih dirasakan dalam jangka panjang, selama dua tahun Turbinmencari pengacara yang mau menangani kasusnya.
Apa Itu Episiotomi?
Episiotomi adalah sayatan bedah yang dilakukan pada perineum – area antara anus dan vulva. Selama abad ke-18 dan 19, dokter menggunakan teknik ini untuk mempercepat proses persalinan tetapi hanya dalam keadaan darurat.
Namun, pada pertemuan American Gynecological Society pada tahun 1920, dokter kandungan terkemuka Joseph DeLee merekomendasikan agar dokter menggunakan episiotomi sebagai hal yang biasa untuk mencegah robekan perineum, yang viasa terjadi pada proses persalinan normal.
Alasannya adalah luka tersebut akan mudah sembuh dan rapih di banding robekan alami yang sering ada. Pada tahun 1979, 62,5 persen dari semua kelahiran dan 80 persen dari kelahiran pertama kali di AS dilakukan episiotomi.
Namun, sejak 1980-an, penelitian klinis mulai menunjukkan bahwa episiotomi tidak boleh diterapkan sebagai praktik medis rutin. Episiotomy bisa menjadi intervensi penyelamatan jiwa dalam keadaan tertentu, tetapi untuk sebagian besar proses kelahiran, ternyata memotong perineum dengan sengaja lebih berbahaya daripada robekan alami.
Prosedur ini dikaitkan dengan tingkat nyeri, edema, perdarahan, dan inkontinensia yang lebih tinggi – dan sebenarnya meningkatkan risiko robekan yang parah.
Episiotomi Tidak Wajib Digunakan
Saat ini, American College of Obstetricians dan Gynecologists dan bahkan WHO pun) merekomendasikan untuk TIDAK menggunakan episiotomi sebagai prosedur rutin.
“Ada kasus di mana episiotomi tetap merupakan hal yang tepat untuk dilakukan, tetapi ketika persalinan dan persalinan berjalan normal, tidak ada indikasi untuk melakukan episiotomi,” kata Dana Gossett, seorang profesor dan dokter kandungan-kandungan di University of California, San Francisco.
Dalam kasus Turbin, persalinannya berjalan normal. Dia masih muda dan sehat, dan tidak ada keadaan yang membuat episiotomi diperlukan. Bahkan jika ada alasan medis yang sah, dokter masih membutuhkan persetujuannya.
Nah dalam kasus si Turbin tersebut di atas, Seperti kebanyakan pasien, Turbin menandatangani formulir persetujuan ketika dia memasuki rumah sakit.
Formulir tersebut menyatakan bahwa ia menyetujui “perawatan darurat, perawatan medis atau bedah, atau layanan rumah sakit yang diberikan kepada pasien di bawah instruksi umum dan khusus dari dokter”, tetapi juga bahwa ia memiliki “hak untuk menyetujui atau menolak operasi yang diusulkan atau prosedur kapan saja sebelum tindakan tersebut dilakukan ”.
Menurut Nadia Sawicki
Nadia Sawicki, profesor hukum di Loyola University Chicago, mempelajari etika seputar hubungan dokter-pasien dan informed consent. Dia mengatakan bahwa meskipun pasien menandatangani dokumen persetujuan ketika mereka memasuki rumah sakit, itu tidak berarti dokter dapat melakukan operasi terhadap kehendak eksplisit mereka.
Setelah mendapatkan kasus “kekerasan dalam proses persalinan” ini, Turbin merasa trauma, kesal , tetapi staf rumah sakit mengatakan tidak ada yang bisa dilakukan. Ketika Turbin sampai di rumah, dia memberi tahu keluarga, teman, dan rekan kerja tentang apa yang terjadi. Banyak yang menjawab bahwa episiotomi adalah bagian standar dari melahirkan dan dia tidak perlu mengeluh karena bayinya sehat.
Saat Turbin mencari pengacara untuk membela kasusnya, dia tidak dapat menemukan siapa pun untuk mengambil kasus ini. dia sudah berbicara dengan 80 pengacara yang berbeda selama 18 bulan, dan berulang kali ditolak. Entah pengacara berpikir itu hanya kasus malpraktek medis ringan. toh kondisi bayinya baik-baik saja dan luka-lukanya sendiri tidak terlalu parah.
karena tidak mendapatkan dukungan dari keluarga dan orang terdekat, akhirnya Dia memutuskan untuk mengirim video kelahirannya ke YouTube dan melihat apakah ada reaksi dari orang orang yang menonton videonya. Dalam sehari, video tersebut menarik 13.000 penonton. Dalam beberapa minggu, jumlahnya mencapai 100.000. dan lebih lebih dari 500.000 repost di sosial media.
LUAR BIASA.
lalu saya ingat dengan postingan saya di Instagram tentang episiotomy
Dan dalam waktu kurang dari 2 jam postingan ini menarik ratusan ibu untuk berkomentar dan bercerita tentang pengalaman mereka dan trauma mereka tentang episiotomy.
Apa yang menarik dari fenomena ini?
yang saya pelajari adalah; Seorang Perempuan mengalami banyak pelanggaran selama perawatan bersalin dan seolah-olah hak asasi mereka – martabat, integritas tubuh dan psikologis, privasi, kesetaraan – tidak ada
Seharusnya Pengambilan keputusan bersama seharusnya menjadi bagian dari proses melahirkan, tanpa tekanan, manipulasi, dan paksaan di ruang bersalin. Namun yang sering terjadi saat ini dilapangan adalah, masih banyak nada nada Ancaman yang di dengar , misal : “kalau terjadi apa apa sama istri dan anak Anda, saya tidak akan bertanggung jawab lho ya!”.
Dan masih banyak lagi kalimat kalimat yang mengisyaratkan bahwa mau gak mau kamu (klien) harus nurut pada saya (provider). walaupun Dalam kebanyakan kasus, ini bukan karena niat jahat. Jika dokter berpikir tindakan tertentu adalah yang terbaik, itu adalah tugas mereka untuk mengungkapkannya. Namun, pada akhirnya pasienlah yang berhak memutuskan apa yang terjadi pada tubuh mereka.
Nah mari kita merenungkan ini bersama sama, supaya kasus si Turbin ini tidak terjadi pada Anda maupun wanita wanita lainnya.
Salam hangat