Birth Story
Kehamilan tentu menjadi dambaan banyak perempuan di dunia.
Namun bagi saya, proses kehamilan dan kelahiran adalah kodrat perempuan yang paling menakutkan.
Saya sering membayangkan saya menikah dan punya anak, tapi tidak pernah membayangkan bahwa saya akan hamil hanya beberapa bulan setelah menikah. Sebagai perempuan penganut gaya hidup ‘bebas-makan-apapun-yang-penting-kenyang-dan-senang’, tentu beralih ke gaya hidup sehat non-MSG adalah sebuah siksaan tersendiri bagi saya.
Belum lagi harus membiasakan minum vitamin, harus berdamai dengan aneka rasa tidak nyaman saat kehamilan seperti sakit pinggang, sesak nafas, dan memperlambat segala aktivitas demi keamanan janin.
Tak sampai di situ, bayangan horror mengenai proses persalinan dan pasca persalinan yang penuh drama dan air mata jelas menghantui saya. I would prefer to work and being a career woman than dealing with all the pain during pregnancy, but it is impossible, isn’t it? Kodrat tetap kodrat, ladies…
Saya akhirnya memutuskan untuk menjalani proses kehamilan pertama ini sesuai pilihan saya, yaitu tetap sehat dan positif tanpa harus mengorbankan kebahagiaan.
Saya mulai rajin makan sayur dan buah yang awalnya jarang sekali saya makan (I am proud to be a carnivore!), saya mulai mengurangi begadang dan tidur pagi, rutin minum vitamin dari dokter, dan mengurangi aktivitas fisik selama trimester awal. Tapi saya juga tidak meninggalkan ‘kebahagiaan’ saya seperti jajan mie ayam dan bakso, ngemil keripik setan dan sambal extra pedas lain, bahkan saya sempat beberapa kali makan mie instan…such a guilty pleasure.
Bahkan tepat di akhir trimester pertama, saya mulai melanjutkan profesi saya sebagai fotografer freelance, yang mewajibkan saya kembali jalan kaki dan berdiri dalam waktu yang lama, naik-turun tangga, terpapar sinar matahari langsung berjam-jam, jungkir balik mencari angle, dan mengedit foto di depan laptop yang tentu tidak pernah sebentar.
Namun, khusus untuk hobi minum kopi dan teh, terpaksa saya jauhi sama sekali karena saya anemia. Susu kehamilan pun akhirnya tidak saya minum karena membuat saya diare.
Hasilnya? Saya justru makin bahagia. Kehamilan pertama yang super lancar tanpa morning sickness sama sekali, tanpa ngidam aneh-aneh, less drama, kenaikan berat badan yang normal, tanpa flek, tanpa bengkak, dan semua tidak seburuk yang saya bayangkan sebelumnya.
Memang, kunci dari kehamilan yang nyaman adalah memberdayakan diri dan stay positive. Jauhi stress dan lingkungan yang negative, tidak bermalas-malasan dan manja.
Tapi tentu ada tantangan dalam setiap perjalanan kan? Ya, saya perlu berdamai dengan pengalaman ibu dan kakak perempuan saya mengenai kehamilan dan melahirkan. Ibu saya, entah kenapa, gemar sekali menceritakan betapa melahirkan adalah proses yang menyakitkan.
Betapa melancarkan ASI adalah proses yang penuh derita. Betapa kita tidak bisa berbuat apapun dan hanya bisa berserah diri kepada Tuhan. Mungkin itu terdengar heroik dan membuat ibu saya bangga pada dirinya, dan sukses membuat saya makin keder.
Sedangkan kakak perempuan saya mengalami proses kehamilan dan kelahiran yang (menurut saya) tidak terlalu menyenangkan. Menjelang HPL, ia terkena penyakit Bells Palsy (lumpuh setengah di bagian wajah), dokter memvonis dirinya harus di operasi cesar saat sudah bukaan 9 akibat jantung janin tidak stabil, dan mengalami stress yang berdampak di produksi ASI.
Padahal, kakak saya ini adalah penganut gaya hidup sehat garis keras, anti MSG, pecinta olahraga, dan aktif di milis atau komunitas ibu hamil. Saya masih cukup beruntung tidak melihat langsung kejadian tersebut karena saat itu saya berada di luar kota, tapi tetap saja saya bisa melihat foto dan membaca ceritanya di social media.
Beruntung, saat saya sudah kembali ke Jogja di trimester ketiga, saya memutuskan untuk ikut kelas yoga pre-natal oleh Bidan Kita yang banyak direkomendasikan teman-teman saya. Saya jadi paham apa itu Gentle Birth Balance, hypnobirthing, dan berkenalan dengan banyak ibu hamil yang punya mindset positif dan semangat memberdayakan diri untuk mempersiapkan persalinan dan pasca persalinan yang nyaman.
Gentle Birth bukan tentang melahirkan secara normal maupun cesar, tapi tentang melahirkan dengan lembut dan minim trauma karena sang ibu dan ayah sudah berupaya memberdayakan diri dengan mempelajari segala proses kehamilan hingga persalinan.
Mindset kita menjadi terlatih untuk selalu positif.
Atmosfir positif dan saling mendukung satu sama lain di kelas yoga pre-natal membuat saya semakin optimis menanamkan pada diri saya bahwa proses persalinan tidak sehoror kata orang dan sangat mungkin dinikmati.
Kuncinya: pengendalian dan pemberdayaan diri.
Jangan jadi bumil yang pasif dan pasrah pada tenaga kesehatan. Kita harus memahami setiap konsekuensi dari segala keputusan yang kita ambil. Saya seringkali mem-forward segala informasi dari Laskar Gentle Birth (LGB) kepada suami saya yang berada di Jakarta.
Kami berdua jadi banyak belajar bersama, terutama belajar dari pasangan lain, yang sudah lebih dulu berpengalaman selama proses kehamilan dan persalinan.
Bahkan, saya sudah order suami saya untuk rajin cium-belai-pijat-plusplus dan memotivasi saya ketika proses persalinan tiba (mihihihik…demi oksitosin yang gegap gempita sis!).
Oiya, saya juga mendapat buku Gentle Birth Balance dari teman saya dan sangat menyukai isinya yang menekankan bahwa setiap wanita itu berdaya dan sudah dibekali Tuhan dengan segala peralatan tempur yang alami untuk melahirkan secara nyaman.
Ingat, ada lho orang yang melahirkan anak di kebon sendirian dan tetap hidup aman sentosa tanpa intervensi tenaga kesehatan dan obat-obatan. Selain itu, saya mendapat panduan untuk ber-yoga sendiri di rumah (tapi tetap lebih asik yoga bareng LGB daripada sendirian sih, hahaha).
Sekarang, usia kehamilan saya sudah 37 minggu. Tinggal menunggu hari hingga baby boy kesayangan ini siap untuk melihat dunia. Semoga segala pengalaman kehamilan pertama saya yang positif ini dapat berujung pada proses persalinan yang gentle dan nyaman, serta makin banyak ibu-ibu muda yang memiliki kesadaran untuk memberdayakan dirinya dan pasangannya demi mendapatkan pengalaman melahirkan yang nyaman dan minim trauma.
Akhir kata, terima kasih tak terhingga untuk kakak Pembina Yessie Aprilia beserta tim Bidan Kita atas segala ilmu dan inspirasinya, serta mamah-mamah LGB yang keren bambang dan terus menyuntikkan energy positif satu sama lain untuk melahirkan secara gentle.
Saya tidak akan bisa se-optimis dan se-positif ini tanpa bantuan kalian. God Bless You, all! Laaaffff yaa! :*
Oleh: Intan Agisti
Foto oleh: Satriyo Hanindhito