Juli 2011…Bidan Kita ada di Majalah Kesehatan Nirmala…dan saya sangat bersyukur sekali. trimakasih kepada mbak Dyah Pratitasari, Mas Uun, Kak Velma dan Dik Jose yang tak henti-hentinya semangat menyebarkan virus Gentle Birth di Indonesia.
pengalaman yang luar biasa karena saya boleh “nongol” di Nirmala dalam 1 boks. Trimakasih…
Dyah Pratitasari Gentle birth, ” Melahirkan” saya kembali
http://www.nirmalamagazine.com/articles/viewArticleCategory/25/page:1
Berawal dari ketertarikan saya pada water birth, saya menemukan gentle birth yang membuat saya mengalami bukan saja persalinan dengan rasa sakit yang tidak berarti, tapi juga rebirth sebagai seorang ibu.
Calon ibu mana yang tidak tertarik iming-iming melahirkan tanpa rasa sakit? Itu yang mengawali penelusuran saya tentang water birth, cara persalinan dalam air yang sedang ramai diberitakan media dan ditawarkan oleh beberapa klinik dan rumah sakit di Jakarta.
Naluri jurnalis mendorong saya untuk mengumpulkan informasi. Hasilnya sungguh mencengangkan. Water birth memang menakjubkan karena membantu ibu dan anak lebih relaks dalam proses persalinan sehingga mengurangi rasa sakit kontraksi dan trauma kelahiran pada si bayi. Namun water birth ternyata hanyalah sebuah metoda atau cara persalinan minim trauma, sementara esensi di dalamnya adalah bagian dari konsep kehamilan dan persalinan alami -gentle birth- yang justru belum banyak diungkap.
Â
Â
Â
Water birth bagian dari gentle birth
Selanjutnya saya dikejutkan berbagai temuan lain seputar persalinan yaitu cara pandang persalinan yang cenderung berfokus pada upaya membuat ibu lebih nyaman secara fisik saat melahirkan. Umumnya anggapan bahwa ibu yang melahirkan, juga bayi yang dilahirkan dengan selamat dan sehat, biasanya dianggap sudah cukup. Pengalaman fisik, mental, dan spiritual ibu saat melahirkan, juga bayi itu sendiri seakan terabaikan. Padahal, perlakuan yang dialami ibu dan bayi serta keadaan lingkungan saat proses persalinan, sangat berperan terhadap trauma ibu dan bayinya dan ikut menentukan kehidupan bayi di kemudian hari – mulai dari sifat, gangguan penyakit (fisik dan mental), hingga risiko penyalahgunaan obat , dan kecenderungan bunuh diri.
Wawancara dengan ahli kandungan dan kebidanan penggagas Bali Water Birth Association, Dr I Nyoman Hariyasa Sanjaya dan Reza Gunawan, praktisi penyembuhan holistik yang juga mempunyai pengalaman gentle birth pada kelahiran putrinya, Atisha, sangat memperluas wawasan saya.
Lebih-lebih saat saya melihat film Birth Into Being karya Elena Tonetti, seorang aktivis natural child birth dari Rusia, yang memperlihatkan perbedaan gentle birth dan persalinan dengan intervensi terlihat sangat gamblang. Sepanjang film ini saya tak henti-henti menangis dengan perasaan teraduk-aduk antara kaget, kagum, haru, hingga sedih luar biasa.
Saya baru tahu bahwa bayi yang lahir secara gentle birth seakan baru bangun tidur; matanya membuka perlahan –  mungkin sambil tersenyum – dan suara tangisannya lumrah saja. Sementara bayi yang dilahirkan dengan intervensi, dalam suasana panik dan bising, tangisannya melengking bernada tinggi, menunjukkan reaksi terkejut, marah, dan sedih. Selain itu, ia masih harus menerima serangkaian perlakuan tidak ramah seperti pemotongan tali pusat di saat rasa terkejutnya belum berhenti, pembersihan saluran pernapasan dengan selang, dan langsung dipisahkan dari ibunya, dan lain-lain.
Water birth yang lebih awal menarik perhatian saya, ternyata hanya menjadi bagian dari gentle birth, yaitu prinsip yang mendasari proses kehamilan dan persalinan alami. Gentle birth adalah persalinan lembut tidak terburu-buru dan minim trauma. Bayi dibiarkan lahir dengan kecepatan dan waktunya sendiri, lalu diterima oleh tangan orang-orang yang mencintainya. Lewat gentle birth, wanita bisa menjalani kodratnya, yaitu menjalani proses kehamilan dan persalinan dengan aman dan nyaman.
Meniatkan, mempersiapkan, memperjuangkan
Meski awalnya agak sulit meyakinkan suami – maklum suami saya dari keluarga medis – akhirnya kami bersepakat mantap untuk menjalani gentle birth anak kedua kami.
Niat ini membawa konsekuensi di belakangnya. Kami, Â yaitu saya, Mas Uun (suami saya), Velma (anak pertama), juga Mbak Sri (asisten di rumah) aktif bersama sejak awal kehamilan, mempersiapkan dan mengamati proses kehamilan saya.
Jika pada kehamilan yang pertama saya mengikuti hal-hal yang dilakukan orang lain, termasuk minum berbagai vitamin untuk ibu hamil dari dokter serta petunjuk keluarga dan orang sekeliling saya tentang makanan bergizi untuk bayi, kali ini saya dituntun untuk menjalani kehamilan dengan tetap sadar. Saya dituntut belajar mengamati ke dalam diri sendiri, mengasah kepekaan untuk membaca kebutuhan diri serta bayi saya.
Setapak demi setapak saya pun bisa berkaca kembali pada berbagai kesulitan yang pernah saya alami dalam kehamilan pertama. Meski lahir dengan normal, proses persalinan ketika itu sangat menyakitkan. Setelah persalinan, saya juga mengalami sindrom baby blues – tanpa sebab musabab, suasana hati saya sering sedih tak menentu.
Pada kehamilan yang sekarang saya lebih sadar. Artinya, saya memahami bahwa setiap tindakan saya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan saya dan bayi. Saya juga tak terbebani harus makan ini atau itu. Saya makan apa saja sesuai dengan yang saya rasa perlu.
Tetap tertib memeriksakan diri ke rumah sakit
Teori-teori yang saya dapat tentang gentle birth, juga saya temukan ketika saya mampir di  Yayasan Bumi Sehat di Nyuh Kuning, Ubud, Bali. Di rumah bersalin yang dikelola oleh para bidan ini, perempuan-perempuan mampu dengan merdeka mengelola persalinannya sendiri. Mereka tidak tidur terkapar di atas tempat tidur sambil menunggu aba-aba dokter untuk menggenjot laju perjalanan si bayi. Menghadapi saat persalinan, calon ibu di sana tetap tenang; mereka mengatur langkahnya sendiri untuk memberi keleluasaan kepada bayinya yang akan lahir.
Bidan yang berjaga-jaga di sana bersikap santai dan ramah. Mereka membebaskan para ibu untuk memilih sendiri cara persalinannya: mau melahirkan di tempat tidur atau dalam bak air. Mau bak air yang ditaburi bunga-bunga seperti di spa, juga boleh. Wah, persalinan yang sangat menyenangkan!
Dan ternyata, itu benar-benar saya alami sendiri. Persalinan yang minim trauma ini merupakan modal awal yang baik untuk proses gentle mothering selanjutnya. Kelahiran bayi, Joserizal (3,5 kg dengan panjang 49 cm) telah menuntun kami menjadi orangtua yang mengasuh anak secara lebih sadar. (N)
Penulis : Endang Ariani
Simak artikel lengkapnya di Nirmala 07/Tahun 12, edar 1 Juli 2011