Trimakasih Tuhan untuk semuanya, akhirnya Harian Suara Merdeka mengulas tentang GENTLE BIRTH dan menjadi HeadLine selama 2 hari di akhir September 2011.
dan bagi Anda yang belum sempat membaca korannya, berikut ini saya copy paste artikelnya:
HARIAN SUARA MERDEKA – BERITA UTAMA
28 September 2011
Gentle Birth, Melahirkan Secara Alami (1)
Kelembutan Sedari Dini
Demi menghindari rasa sakit, banyak perempuan memilih melahirkan melalui operasi caesar. Padahal melahirkan secara alami pun bisa berlangsung dengan nyaman dan tenang asalkan dilakukan secara lembut sesuai ritme tubuh (gentlebirth).
Yesie bergegas turun begitu mobil yang dia tumpangi terparkir di halaman. Langkahnya tergesa, tapi wajahnya penuh tawa. Siang itu kami berjanji bertemu pukul 14.00 di sebuah rumah yang difungsikan sebagai klinik bersalin di Perumahan Cemara Hijau, Klaten. Kami datang sepuluh menit lebih awal.
“Maaf menunggu, tadi ketemu dulu sama Reza Gunawan di Yogya,” sapa bidan muda bernama lengkap Yesie Aprillia itu ramah. Suaranya renyah. Reza yang dimaksud adalah pakar holistik asal Jakarta yang juga suami Dewi Lestari, penulis dan penyanyi yang telah mempraktikkan gentlebirth. Keduanya bersama Lanny Kuswandi (pakar holistik dari Pro V Clinic Jakarta) serta Robin Lim (pendiri Yayasan Bumi Sehat, Ubud, Bali) tergabung dalam komunitas Gentle Birth untuk Semua yang getol mengampanyekan persalinan lembut nirtrauma.
Yesie sendiri bersinggungan dengan gentlebirth sejak 2004. Bermula dari ketertarikannya mempelajari hypnobirh dan waterbirth, pemilik klinik bersalin Bidan Kita itu pun jatuh cinta pada gentlebirth. Hypnobirth adalah metode untuk menyiapkan ibu hamil supaya memiliki kepercayaan diri dan rileks dalam menjalankan proses persalinan, sementara waterbirth adalah proses persalinan di dalam air. Dua metode itu tercakup dalam konsep gentlebirth. “He he he gimana, mau langsung cerita tentang gentle birth?” tanyanya. Tampak benar wanita yang pernah berguru pada Elena Tonetti, pakar gentlebirth asal Rusia itu sangat bersemangat.
Gentlebirth, menurut Yesie, adalah konsep persalinan yang tenang dan santun dengan memanfaatkan semua unsur yang alami. Tenang, karena ibu dalam kondisi rileks dan tidak diburu dan santun karena ibu diminimalkan rasa sakitnya.
“Gentlebirth menghargai ibu dan bayi sebagai individu. Jika si ibu nyaman melahirkan dalam posisi berdiri, maka berdiri pun jadi. Tapi jika lebih nyaman dengan jongkok, itu pun tidak masalah. Semua posisi itu aman untuk melahirkan,” kata bidan yang juga pakar hypnobirth itu. “Justru kebebasan si ibu bergerak selama persalinan adalah sesuatu yang rasional.”
Tanpa Trauma
Lulusan pascasarjana Universitas Diponegoro (Undip) itu menjelaskan, sama seperti ketika seseorang mendapat dorongan untuk makan atau tidur, saat akan melahirkan perempuan juga akan mendapatkan dorongan untuk mengambil posisi tertentu yang akan membuatnya merasa nyaman dan memungkinkan bayi yang dikandung mereposisi diri sehingga bergerak ke bawah dan keluar.
Sayangnya, posisi-posisi itu nyaris mustahil dilakukan jika melahirkan di rumah sakit yang cenderung prosedural. Di rumah sakit, ibu yang akan melahirkan biasanya ditempatkan dalam posisi tidur telentang (litotomi) atau setengah duduk sehingga dokter atau bidan lebih mudah membantu persalinan. Padahal, litotomi bertentangan dengan gravitasi bumi.
“Melahirkan itu kan seperti orang sembelit, tapi sembelit selama sembilan bulan. Bayangkan saja Anda sedang sembelit dan harus buang air besar dalam posisi telentang, betapa sulitnya.”
Itulah mengapa, katanya, orang terpatri dengan anggapan bahwa melahirkan itu menyakitkan. Padahal jika dilakukan secara benar, tidaklah demikian. Dia menyayangkan adanya kecenderungan penggunaan intervensi medis secara berlebihan dalam proses persalinan, termasuk operasi caesar.
“Saya geregetan banyak perempuan lebih memilih operasi caesar, padahal itu meninggalkan trauma bagi bayi. Si ibu sih enak tak merasakan sakit, lha si bayi baru lahir sudah dihadapkan pada cahaya terang dan suara gaduh peralatan medis dan aba-aba dari orang-orang yang tak dikenal.”
Padahal, lanjut ibu satu anak itu, bayi memiliki sensor yang seribu kali lebih sensitif dari orang dewasa. Aba-aba seperti “Ayo,ayo… sudah hampir keluar”, saat persalinan bisa diterima bayi sebagai bentakan dan itu membuatnya tertekan. Ironisnya lagi, trauma itu bisa terbawa hingga dewasa.
“Maka jangan heran jika anak sekarang suka tawuran. Sebab, sejak baru lahir mereka telah dikenalkan dengan kekerasan. Coba semua orang menggunakan gentlebirth, pasti dunia damai,” tuturnya.
Namun Yesie menandaskan, tak hanya proses persalinan yang harus dilakukan secara lembut. “Dari bercinta, hamil, bersalin, hingga setelah melahirkan, semua harus dilakukan penuh kelembutan,” kata bidan yang berguru gentlebirth pada Robin Lim tersebut. “Buktikan saja, kalau seseorang bercinta dengan penuh amarah, maka anak yang terlahir pun akan pemarah.” (Maratun Nashihah-66)
HARIAN SUARA MERDEKA – BERITA UTAMA
29 September 2011
Gentlebirth, Melahirkan secara Alami (2-Habis)
Andalkan Insting, Tak Harus Mengejan
ANDAI saja Prita tahu soal gentlebirth sedari dulu, tentulah dia akan memilih melahirkan putri pertamanya dengan konsep itu. Sayangnya ibu muda bernama lengkap Dyah Pratitasari itu baru memahami metode tersebut tahun lalu, saat mengandung anak kedua.
Berawal dari rasa ingin tahu mengenai waterbirth yang telah diberitakan banyak media, jurnalis sebuah majalah kesehatan itu akhirnya menemukan berbagai hal yang mengejutkan terkait persalinan. Dari soal pergeseran cara memandang peristiwa kehamilan dan persalinan, prosedur medis yang belum tentu berdasar kepentingan ibu dan bayi, intervensi medis yang belum tentu perlu, evolusi posisi persalinan yang ternyata justru menjadi kurang ramah bagi proses persalinan, hingga pendekatan persalinan yang cenderung fokus pada kenyamanan ibu, bukan bayi.
Puncaknya saat ibu muda itu menonton film “”Birth Into Being”” karya Elena Tonetti, seorang aktivis natural childbirth dari Rusia. Film yang menggambarkan kelahiran bayi secara lembut, tenang, dan tanpa paksaan (gentlebirth) itu membuatnya mantap untuk mempersembahkan proses persalinan yang sama bagi bayinya. Dan dia pun mulai memberdayakan diri dan keluarganya sejak kandungannya berusia 9 minggu.
Medio Maret di remang fajar salah satu belahan Jakarta, dengan didampingi sang suami dan Bidan Yesie Aprillia, Prita melahirkan anak keduanya di rumah. Bayi montok dengan berat 3,5 kg dan panjang 49 cm itu meluncur ke dalam air, hanya kurang dari lima menit setelah si ibu masuk ke dalam kolam plastik berisi air hangat.
Prita mengaku hanya mengandalkan isyarat bayi dan insting dari tubuhnya sendiri saat melahirkan. Dia mengambil posisi merangkak-berlutut sambil bersandar pada pinggiran kolam hingga kepala bayi menyembul di ujung jalan lahir (crowning), dan kemudian mengubah posisi setengah duduk demi memudahkan penerimaan bayi.
“”Saat itu, kami membuktikan sendiri bahwa bayi ternyata punya kemampuan untuk keluar secara alami, sehingga kita tidak perlu mengejan, sama sekali. Yang saya lakukan hanya berusaha mengikuti isyarat bayi di dalam perut, sambil terus bernapas dan rileks. Karena semakin rileks, terasa sekali dia keluar semakin lembut,”” kisahnya. Pada persalinan pertama, Prita melahirkan di rumah sakit dan diiduksi karena prosesnya dianggap lambat.
Dia mengatakan, pada persalinannya secara gentlebirth, rasa nyeri kontraksi tetap ada. Namun, nyeri tersebut tidak terasa sebagai sesuatu yang menyakitkan, melainkan menjadi semacam sensasi yang ditunggu karena dia telah memiliki kesadaran bahwa Tuhan menciptakan nyeri kontraksi itu sebagai penanda atau “”alarm”” yang menunjukkan mekanisme tubuhnya sedang bekerja.
Berdasar pengalaman itulah, Prita kini gencar mengampanyekan gentlebirth yang belum banyak dikenal. Bersama para “”alumni”” dan praktisi gentlebirth dia gencar mengampanyekan konsep itu melalui situs jejaring sosial dan media.
Belum Populer
Yesie Aprillia, praktisi gentlebirth, mengatakan hingga kini konsep persalinan gentlebirth memang masih kalah populer dari waterbirth. Meskipun sesungguhnya, gentlebirth juga mencakup cara melahirkan di dalam air (waterbirth).
“”Tapi sekarang sudah lumayan dikenal kok. Mungkin karena ada selebritis yang melakukannya sehingga media pun mempublikasikan,”” ujar penulis buku “”Hipnostetri”” dan “”Siapa Bilang Melahirkan Sakit”” tersebut, mengacu pada Dewi Lestari (Dee) dan Oppie Andaresta.
Di Indonesia, gentlebirth pertama kali dipopulerkan oleh Yayasan Bumi Sehat, klinik bersalin yang didirikan Robin Lim di Desa Nyuh Kuning, Ubud, Bali. Sejumlah bidan dan dokter menimba ilmu pada Robin Lim kemudian mempraktikkan konsep serupa, termasuk Yesie.
“”Sebenarnya semua bidan dan dokter bisa melakukannya, tapi kebanyakan memang tidak mau repot. Kalau persalinan gentlebirth kan memang repot ya, harus jongkok mengintip pembukaan jalan bayi dan lain sebagainya,”” tutur Yesie.
“”Karena itu saya juga selalu menyelipkan kampanye gentlebirth saat memberikan pelatihan hypnobirth.””
Yesie mengatakan, gentlebirth tidak harus persalinan normal. “”Operasi caesar sekalipun bisa gentlebirth asalkan disiapkan dan dilakukan secara lembut. Tidak ada tarikan, tidak ada kekerasan, tidak ada pemisahan antara ibu dan bayi.”” (Maratun Nashihah-66