Â
Cita-citanya sederhana; setiap ibu dapat melahirkan dengan nyaman, aman, dan alami. Dari kliniknya yang terletak di Desa Nyuh Kuning, Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, ia mulai mewujudkan mimpi.
Oleh: Dyah Pratitasari
Â
Â
dalam Majalah NIRMALA, Desember 2011*
Lewat akun facebook-nya, Robin Lim, mengalir sapaan dari berbagai penjuru dunia. Mereka mendukungnya sebagai salah satu kandidat CNN Heroes 2011, sebuah penghargaan internasional bagi seseorang yang dianggap pahlawan bagi lingkungannya, agar terpilih sebagai pemenang.
Â
Bagi banyak orang, Robin Lim (55 tahun), memang malaikat penyelamat ibu dan bayi. Julukan itu diberikan bukan semata-mata karena ia berprofesi sebagai penolong persalinan.
Â
Saat Aceh dilanda bencana tsunami, tahun 2004 yang lalu, tanpa berpikir panjang, Robin berangkat untuk memberikan pelayanan kesehatan, menolong persalinan, dan berbagi kiat-kiat menjalankan pola hidup sehat di lokasi bencana. Unit pelayanan darurat itu masih berdiri hingga kini, bahkan berkembang menjadi sebuah pusat kesehatan bernama Tsunami Relief Clinic. Hal yang sama juga ia lakukan saat gempa mengguncang Yogyakarta, Haiti, dan kota lainnya. Semua pelayanan itu diberikan secara cuma-cuma, tanpa memungut biaya.
Â
Memulai hidup baru
Â
Masyarakat Bali menyebutnya dengan nama, Ibu Robin. Sehari-hari, ia tampil tanpa riasan. Rambutnya yang panjang sepinggang lebih suka diurai, diikat ala kadarnya, atau dikepang. Dengan kalung etnik yang menggantung di lehernya, ia kerap disangka seorang Indian.
Â
Faktanya, “Saya ini manusia campuran,” ia menerangkan. Ayahnya seorang Amerika keturunan Jerman-Irlandia, dan ibunya keturunan Cina-Filipina. Wajar, jika kulitnya tergolong kuning langsat, namun matanya tidak sipit-sipit amat.
Â
Kedatangannya ke Indonesia, barangkali dimulai seperti kisah para turis pada umumnya: melancong ke Bali, lalu jatuh cinta. “Pertama kali menjejakkan kaki ke Ubud, saya langsung merasa, inilah yang disebut rumah. Kehidupan sosial di Bali juga banyak memberi inspirasi, sehingga saya selalu tergoda untuk bolak-balik berkunjung ke sana”, tutur Robin, yang juga piawai menulis dan telah menerbitkan sejumlah buku.
Â
Pada tahun 1992, Robin mulai memutuskan untuk menjalani hidup baru: menjual rumahnya di Hawaii, dan memboyong keluarganya untuk tinggal di Ubud. Sejak menetap di situ, Robin melihat banyak ibu hamil harus berjuang keras untuk bisa melahirkan dengan aman dan nyaman. Pada waktu itu, kondisi di Ubud belum seperti sekarang. Akses kesehatan belum memadai, sehingga untuk memperoleh pelayanan yang lebih baik, seringkali ibu hamil harus pergi ke Denpasar. Mahalnya biaya persalinan, juga membuat keluarga yang tak punya uang harus rela melahirkan dengan bantuan ala kadarnya.
Â
Dengan kemampuannya sebagai bidan, saat itu Robin belum terpikir untuk membuka klinik. Baru setelah melahirkan Hanoman (19 tahun), anak bungsunya, di rumah, warga sekitar mulai berdatangan, memintanya untuk mendampingi para ibu yang melahirkan.
Â
Popularitas Robin sebagai bidan semakin meluas. “Banyak orang merasa senang, karena Ibu memperlakukan pasien dengan penuh kasih sayang, seperti anaknya sendiri. Ia juga tidak mematok tarif. Keluarga yang tak punya uang digratiskan, seringkali justru diberi makanan”, tutur Wayan, salah satu tetangga Robin di Desa Nyuh Kuning.
Â
Warga setempat pun mendesak bidan bersertifikat North American Registry of Midwives, tersebut, segera membuka praktik. Kemudian tahun 2005, melalui akta notaris, ia mendirikan yayasan untuk menaungi Bumi Sehat, kliniknya itu.
Â
Seiring berjalannya waktu, pasien Robin tidak lagi sebatas penduduk sekitar desa, melainkan dari berbagai propinsi di Nusantara dan mancanegara. Warga mancanegara yang melahirkan di kliniknya bukan hanya turis yang sedang berlibur di Bali. “Mereka sengaja terbang ke Bumi Sehat, demi merasakan proses persalinan yang nyaman dan alami”, jelas wanita, yang lancar berbahasa Indonesia, ini.
Â
Selektif menerima sumbangan
Â
Meskipun hanya berdiri di atas rumah kontrakan dan bermodalkan fasilitas seadanya, Bumi Sehat mampu memberi harapan baru bagi masyarakat miskin. Sebab, kegiatan di kliniknya tersebut bukan sekadar mengobati penyakit dan menangani persalinan, melainkan juga memberdayakan masyarakat untuk lebih sehat.
Â
Mulai dari mengajak penduduk sekitar menanam sayuran di pekarangan untuk meningkatkan status gizi keluarga, hingga membina kesehatan para lanjut usia. Tiga kali dalam seminggu, sekitar 80 lansia dari berbagai daerah datang ke kliniknya untuk berolahraga bersama, dan belajar teknik-teknik pengobatan alami.
Â
Selain itu, Robin juga melakukan regenerasi dengan memberikan beasiswa kepada 10 remaja yang berminat menekuni ilmu kebidanan. Mereka boleh mengambil sekolah bidan di mana saja, asalkan, setelah lulus, bersedia mengabdikan diri di daerah masing-masing.
Â
Â
Untuk menghidupi kegiatannya itu, Robin mengaku tidak berjalan sendiri. “Saya ini tukang minta-minta”, candanya. Ia aktif mengajukan proposal sumbangan dana ke berbagai negara. Meskipun begitu, Robin tak mau sembarangan. Ia menolak sumbangan jika berasal dari perusahaan pertambangan yang merusak lingkungan. “Berapa pun nilainya, saya tidak akan terima”, tegasnya. Sikap yang sama juga ia berikan pada produsen susu formula.
Â
Ketegasannya itu, ia akui, tak jarang membuatnya terengah-engah mengongkosi operasional klinik. Sebab, jika ada uang, harus dibagi dua dengan klinik yang ada di Aceh. Untuk itu, Robin memberlakukan “aturan” baru: pasien dipersilakan memberi donasi seikhlasnya. Dana yang terkumpul pun dimanfaatkan dengan metode subsidi silang.
Â
Dengan pendekatan semacam itu, rupanya para pasien justru jadi punya semacam “ikatan moral”. “Meski melahirkannya sudah bertahun-tahun yang lalu, kalau ada rejeki, mereka masih menyumbang ke sini. Banyak pula yang tidak memberi dalam bentuk uang, namun selalu mampir saat pohon mangganya berbuah. Semua orang tergerak untuk berbagi dengan caranya sendiri-sendiri”, tutur Robin.
Â
Dianggap aneh
Â
Belum banyak yang tahu, bahwa dalam perjalanannya, Robin pernah diremehkan, dicibir, bahkan kliniknya diancam akan ditutup. Sebab, sebagai seorang pendatang yang berprofesi sebagai bidan, caranya dalam menangani persalinan dianggap “menyalahi aturan”.
Â
Bayangkan saja. Jika pada umumnya ibu yang bersalin harus melahirkan dengan posisi berbaring di atas tempat tidur, ia justru membebaskan semua pasiennya untuk memilih posisi yang mereka sukai. Mulai dari jongkok di lantai, berdiri sambil memeluk suami, hingga berendam dalam kolam berisi air hangat bertabur bunga.
Â
Menurutnya, langkah itu dilakukan bukan tanpa alasan. “Manusia sama seperti makhluk mamalia lainnya. Jika posisi melahirkan sesuai dengan hukum gravitasi, ibu tak perlu mengejan untuk mendorong bayi”, jelasnya.
Â
Setelah lahir, tali pusat bayi juga tidak langsung dijepit dan digunting. Ia menunda pemotongannya selama minimal satu jam, kemudian “memotong” tali pusat tersebut menggunakan lilin (burning cord). Bahkan, jika orangtuanya bersedia, plasenta yang menjadi sumber kehidupan bayi selama 9 bulan itu tetap dibiarkan menemani sang bayi, hingga akhirnya mengering dan terlepas sendiri.
Â
Robin mengatakan, penundaan pemotongan tali pusar bertujuan memaksimalkan aliran oksigen dan sel nutrisi, serta menghindari trauma pada bayi akibat transisi kehidupan yang terlalu drastis. Sedangkan pemotongan tali pusar dengan cara dibakar menggunakan lilin, memiliki beberapa manfaat. Dari segi filosofi, gunting adalah lambang kekerasan. Ia tidak ingin memperkenalkan kekerasan di awal-awal kehidupan bayi.
Â
Sementara dari segi medis, metode burning cord mampu menekan risiko infeksi. “Dengan dibakar, seluruh jaringan yang ada di tali pusar akan terkunci sempurna. Tidak ada luka terbuka, sehingga tetap aman meskipun lingkungan tempat ibu melahirkan tergolong kurang higienis”, tutur Robin, yang juga mempraktikkan metode ini saat menangani persalinan darurat di Aceh dan Yogyakarta.
Â
Kembali ke alam
Â
Dibesarkan di negara maju yang berteknologi serba canggih, justru membuat Robin yakin bahwa kesuksesan persalinan tidak terletak pada kecanggihan alat teknologi. “Adik saya meninggal saat melahirkan. Padahal, sudah berada di rumah sakit yang mahal, dengan fasilitas lengkap dan canggih. Dokter tidak memiliki waktu untuk memperhatikan adik saya”, kenangnya.
Â
Â
itu sebabnya, ia percaya, persalinan yang lancar aman, nyaman, dan alami akan terwujud jika pasien diperhatikan dengan penuh kasih sayang. Penanganan persalinan juga harus memandang manusia secara holistik; sebagai satu kesatuan body, mind, dan spirit.
Â
Ia menambahkan, ketika kita tidak lagi memandang manusia secara utuh, persalinan cenderung diperlakukan secara mekanis. “Dampaknya, muncul intervensi medis yang belum tentu diperlukan, prosedur yang belum tentu ramah bagi kebutuhan ibu dan bayi, dan tanpa disadari, justru dapat berisiko bagi proses persalinan itu sendiri”, tuturnya.
Â
Oleh sebab itu, Robin meyakini, penanganan persalinan harus dibangun berlandaskan tiga pedoman, yaitu menghormati alam, menghormati budaya, dan menerapkan ilmu kedokteran secara bijak.
Â
Merangkul dukun bayi
Â
Banyak orang berpendapat, selama orang masih melahirkan dengan bantuan dukun bayi, angka kematian ibu dan bayi akan tetap tinggi. Robin tidak sepenuhnya setuju. Menurutnya, meskipun memiliki kekurangan dari sisi pengetahuan medis, dukun bayi umumnya justru mempunyai keterampilan lain yang bisa menolong nyawa ibu. “Keahlian mereka tidak bisa diperoleh dari sekolah bidan atau dunia kedokteran, karena mereka belajar dari alam”, tuturnya.
Â
Itu sebabnya, di Aceh dan Ubud, Robin merangkul para dukun bayi kepercayaan masyarakat. Caranya, dengan mengajarkan cara penanganan persalinan yang higienis dan sesuai standar. Dukun bayi juga diberi telepon seluler, agar ketika ada ibu yang akan melahirkan, mereka bisa segera menghubungi tenaga medis.
Â
Pada praktiknya, dukun-dukun bayi tersebut justru berperan sebagai simpul informasi. Merekalah yang memberi tahu di mana ada ibu hamil dan kapan kira-kira akan melahirkan, sehingga tenaga medis lebih mudah mengontrol dan memberikan penanganan. Setelah persalinan, mereka pula yang mendampingi para ibu memulihkan stamina dan merawat tubuh, mulai dari membantu memasak air, mencucikan kain, dan masih banyak lagi.
Â
“Dukun bayi bekerja di area akar rumput. Asal diarahkan, mereka bisa menjadi mitra yang baik bagi bidan dan dokter. Dengan merangkul mereka, nilai-nilai budaya, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi kedokteran dapat berjalan seiring, saling melengkapi” tutur Robin.
Â
Ingin membangun klinik
Â
Di tengah segala mimpi yang sedang ia wujudkan, Robin mengaku menjalani hari layaknya ibu-ibu yang lain. “Memasak, mengurus anak, dan mendengarkan mereka bercerita”, cetus ibu dari delapan anak ini, sambil tertawa. Hingga saat ini, Robin juga masih terus menggalang dukungan suara untuk memenangkan gelar CNN Heroes Award 2011. Â Jika nantinya berhasil terpilih, hadiah penghargaan sebesar 250.000 dollar AS (sekitar Rp 2,2 miliar) itu akan digunakan untuk membangun klinik.
Â
Ia berharap, kiprahnya bukan hanya sekadar membantu mensukseskan program Millenium Development Goals (MDG), dalam menekan angka kematian ibu dan bayi. Lebih dari itu, ia bermimpi, persalinan yang aman, nyaman, dan alami, bisa dinikmati oleh semua orang, tanpa memandang status sosialnya.
Â
“Saya percaya bahwa proses persalinan yang penuh kasih sayang dan memperhatikan manusia seutuhnya adalah landasan dari sebuah kehidupan yang indah. Dunia yang lebih damai dapat dimulai hari ini, melalui setiap bayi yang lahir ke dunia. Let”s heal the world by gentle birth “, pungkasnya.(N)
Â
*) Update:
Ibu Robin meraih gelar CNN Hero 2011.
Tulisan ini memperoleh penghargaan sebagai Pemenang I Kompetisi Jurnalistik Indonesia MDG’s Award 2011.
Â
Salam sehat,
www.nirmalamagazine.com
FB: Nirmala Magazine
Â