Nyeri pada proses persalinan merupakan keadaan yang sangat dikhawatirkan pada ibu yang akan menghadapi persalinan. Lebih dari 90% wanita mengalami nyeri persalinan yang cukup berat. Defenisi nyeri menurut International Association of The Study of Pain adalah suatu pengalaman sensorial dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi rusak atau tergambarkan seperti itu. Nyeri persalinan merupakan proses fisiologis dengan intensitas yang berbeda-beda pada masing-masing individu. Umumnya dipengaruhi oleh keadaan sosial dan kultural, nullipara, drip oksitosin, ibu yang berusia muda, berat badan ibu dan janin yang meningkat.
Â
Perubahan fisiologis yang ditimbulkan oleh nyeri persalinan hebat merupakan respon tubuh terhadap stres yang bersifat fisik sehingga terjadi pengeluaran beberapa hormon tubuh seperti hormon adrenokortikotropik (ACTH), kortisol, katekolamin dan β-endorpin. Perubahan fisiologis yang terjadi dapat berupa hiperventilasi, kenaikan curah jantung, kenaikan tekanan darah, meningkatnya metaboisme, meningkatnya konsumsi oksigen dan penurunan motilitas saluran cerna. Disamping itu nyeri persalinan yang hebat dapat juga menyebabkan terjadinya stres emosional jangka panjang pada ibu.
Selama persalinan, ibu hamil diharapkan dapat melalui proses persalinan dengan nyaman tanpa menimbulkan cacat emosional. Oleh karena itu diperlukan suatu penatalaksanaan nyeri persalinan yang efektif. Penatalaksanaan nyeri persalinan dapat dilaksanakan baik secara farmakologi maupun non farmakologi. Metode farmakologi dilakukan dengan menggunakan nitrous oksida, pethidin, morphine, anestesi epidural,anestesi spinal, blokade saraf dan anestesi umum. Metode nonfarmakologi dilakukan dengan relaksasi dan pijat (massage), akupuncture, hipnotis, aromaterapi dan TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation).
Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) merupakan salah satu teknik analgesik non-invasif yang sekarang telah digunakan secara luas di berbagai tempat praktek ahli fisioterapi, perawat dan bidan. Teknik ini dapat dilakukan di klinik oleh profesional medis atau dapat dilakukan di rumah oleh si pasien yang telah membeli peralatan TENS. Indikasi utama TENS adalah untuk manajemen nyeri akut dan nyeri kronik non-keganasan. Tetapi, TENS juga digunakan sebagai terapi paliatif untuk mengurangi rasa nyeri yang disebabkan oleh penyakit tulang metastase dan neoplasma. Untuk pengobatan, TENS merupakan elektroterapi yang paling luas penggunaannya dalam meredakan rasa nyeri. Metode ini menjadi populer karena tidak invasif, mudah untuk dilakukan dan memiliki efek samping yang minimal atau interaksi obat. Karena tidak ada kemungkinan untuk terjadi overdosis atau keracunan, pasien dapat melakukan TENS secara mandiri dan mengatur sendiri dosis yang mereka perlukan. Efek TENS dapat segera dirasakan, jadi cara ini efektif untuk mengurangi rasa nyeri dengan segera.
TENS merupakan salah satu pilihan analgesia non farmakologi yang mulai dipopulerkan penggunaannya dalam mengatasi nyeri persalinan. Penelitian yang dilakukan oleh Kaplan B dkk membuktikan keefektifan TENS sebagai analgesia pada nyeri persalinan. Sekitar 72% nullipara dan 69% multipara dari sampel yang diteliti menyatakan TENS efektif untuk menghilangkan nyeri selama persalinan tanpa efek samping pada ibu dan janin. Disamping itu TENS secara signifikan dapat mengurangi durasi kala I persalinan pada nullipara dan multipara dan mengurangi penggunaan obat-obatan analgesia.
Persarafan Rahim dan Jalan Lahir
Serat saraf sensoris viseral dari uterus, servik dan vagina atas melintang melalui ganglion Frankenhauser yang terletak disebelah lateral servik ke pleksus pelvikus dan kemudian ke pleksus-pleksus hipogastrikus media dan superior. Dari sana serat-serat berjalan pada rantai simpatik lumbal dan torakal bawah untuk masuk ke medula spinalis melalui rami komunikantes alba yang berhubungan dengan nervus thorasikus 10,11 dan 12.
Serat saraf motorik uterus meninggalkan medula spinalis setinggi vertebrae thorakal 7 dan 8 sehingga secara teori setiap metode blok sensoris yang tidak memblok jaras motorik ke uterus dapat digunakan untuk analgesia selama persalinan.
Sensasi nyeri akibat dilatasi servik dan kontraksi rahim dihantarkan oleh saraf sensoris berukuran kecil dari pleksus paraservilkal dan pleksus hipogastrikus inferior yang bersatu dengan pleksus saraf simpatis setinggi L2-L3.
Meskipun kotraksi uterus yang menyebabkan nyeri terus berlangsung pada kala II, kebanyakan rasa nyeri berasal dari regangan traktus genitalis bagian bawah (jalan lahir). Rangsangan nyeri dari traktus genitalis bagian bawah ini dihantarkan terutama melalui nervus pudendus, cabang-cabang perifer yang mempersarafi perineum, anus, bagian-bagian vulva dan klitoris. Nervus pudendus berjalan melintasi permukaan posterior ligamentum sakrospinosum tepat pada saat ligamentum tersebut melekat ke spina iskiadika. Serat saraf sensoris nervus pudendus berasal dari cabang-cabang ventral nervus sakralis 2, 3 dan 4
Mekanisme Nyeri Persalinan
Rasa nyeri merupakan salah satu mekanisme pertahanan alami dari tubuh manusia, yaitu suatu peringatan akan adanya bahaya. Nyeri dapat digolongkan dalam dua macam yaitu nyeri fisiologik (nyeri nosiseptif) yang berlangsung singkat dan nyeri patofisiologis (nyeri klinik) yang berlangsung lama.
Pada nyeri fisiologik, terjadi stimulus yang mengaktifkan nosiseptor dan meneruskannya melalui beberapa relay sampai mencapai otak. Stimulus intensitas rendah, non-noxious stimulus, mengaktifasi reseptor low-threshold dan direlay melaui serabut saraf A-beta ke dorsal horn medula sinalis. Stimulus dengan intensitas tinggi dihantarkan ke dorsal horn melalui serabut high-threshold, serabut saraf A-delta bermyelin tipis danserabut C sensoris tidak bermyelin. Nyeri fisiologik merupakan komponen normal sebagai mekanisme pertahanan tubuh, melalui reflek spinal agar dapat menghindarkan tubuh dari kerusakan yang lebih berbahaya
Nyeri patofisiologik atau nyeri klinik, ditimbulkan oleh faktor-faktor yang berbeda dengan nyeri fisiologik. Inflamasi dan cedera saraf perifer atau sentral, menimbulkan perubahan proses sensoris pada tingkat perifer dan sentral sehingga menghasilkan sensitisasi gabungan. Biasanya ada tiga jenis yaitu nyeri spontan (dull, burning, stabbing), nyeri berlebihan dalam merespon stimulus supra threshold disebut hiperalgesia, nyeri yang ditimbulkan oleh stimulus subthreshold atau intensitas rendah disebut allodynia. Keadaan abnormal terjadi pada sistem saraf perifer dan sentral, dimana stimulus intensitas rendah menimbulkan nyeri melalui serabut A-delta dan C, demikian juga A-beta, nyeri patofisiologik ini menyebar ke tempat yang tidak rusak dan seringkali stimulus berlangsung lama.
Pada kehamilan rasa nyeri memberitahukan pada ibu bahwa dirinya telah memasuki fase persalinan dan dapat juga mengindikasikan masalah yang terjadi pada ibu (ruptura uteri, solutio plasenta). Sensasi nyeri yang timbul pada proses persalinan merupakan nyeri yang paling kuat yang dialami manusia dengan intensitas yang berbeda untuk masing-masing individu. Intensitas nyeri dipengaruhi oleh keadaan sosial dan kultural ibu dan paritas ibu. Primipara akan mengalami nyeri yang lebih kuat pada tahap awal persalinan, sedangkan pada multipara rasa nyeri akan lebih menonjol pada kala II.
Ada tiga jenis utama nyeri pada persalinan : emosional, fungsional dan fisiologis.
Sumber nyeri yang berasal dari endokrin berupa rasa takut, ketidaktahuan dan rendahnya pendidikan. Sumber nyeri yang bersifat fungsional berupa dilatasi servik, kontraksi rahim, penurunan kepala dan peregangan perineum. Sumber nyeri yang bersifat fisiologis merupakan keadaan-keadaan yang berubah dari yang seharusnya.
Rasa nyeri pada persalinan disebabkan oleh anoksia miometrium, peregangan servik, tarikan pada tuba, ovarium dan ligaman-ligamen penyangga uterus, penekanan pada uretra, kandung kemih dan rektum, distensi otot-otot dasar panggul dan perineum.
Nyeri pada persalinan kala I
Selama persalinan kala I, nyeri berasal dari kontraksi uterus & adneksa dan merupakan nyeri viseral. Nyeri yang timbul tidak dapat ditentukan dengan tepat lokasinya dan nyeri dapat pula dirasakan oleh organ lain yang bukan merupakan asal nyeri, disebut sebagai nyeri alih (referred pain). Sebagian besar nyeri diakibatkan oleh dilatasi servik dan regangan segmen bawah rahim, kemudian akibat distensi mekanik, regangan dan robekan selama kontraksi. Intensitas nyeri berhubungan dengan kekuatan kontraksi dan tekanan yang ditimbulkan. Kontraksi isometrik pada uterus melawan hambatan oleh servik dan perineum juga dapat menambah intensitas nyeri.
Sensasi nyeri akibat dilatasi servik dan kontraksi rahim dihantarkan oleh saraf sensoris berukuran kecil dari pleksus paraservilkal dan pleksus hipogastrikus inferior yang bersatu dengan pleksus saraf simpatis setinggi L2-L3.
Nyeri pada persalinan kala II
Pada persalinan kala II, ketika servik berdilatasi penuh, stimulasi pada reseptor nosiseptif berlangsung terus menerus akibat dari kontraksi badan uterus dan distensi segmen bawah rahim. Nyeri yang disebabkan oleh dilatasi servik sudah menurun tetapi peningkatan secara progresif tekanan dari fetus terhadap struktur di pelvis menimbulkan nyeri somatik dengan regangan dan robekan fascia dan jaringan subkutan jalan lahir bagian bawah, distensi perineum dan tekanan pada otot lurik perineum. Sangat kontras dengan nyeri viseral, nyeri somatik pada kala II ini dirasakan terus menerus dan lokasinya jelas. Nyeri dari perineum berjalan melewati serat saraf aferen somatik, terutama pada saraf pudendus dan mencapai medula spinalis melalui segmen sakral 2,3 dan 4.
Sistem Transmisi Nyeri
Transmisi nyeri persalinan dibedakan atas dua sistem transmisi yaitu transmisi nyeri sebelum medula spinalis dan transmisi nyeri pada medula spinalis.
Transmisi nyeri pada serabut saraf sebelum medula spinalis
Suplai serabut saraf pada bagian bawah jalan lahir berbeda dari uterus, hal inilah yang menyebabkan perbedaan lokasi dan sumber nyeri pada persalinan kala I dan II. Sensasi dari kala I (awal kontraksi sampai dilatasi maksimal dari servik) merupakan nyeri viseral melalui saraf delta A dan C yang berasal dari dinding lateral fornices uterus dilanjutkan ke pleksus uterina dan servik lalu ke pleksus hipogastrika inferior, pleksus hipogastrika media dan pleksus hipogastrika superior serta pleksus aorta. Dari sini aferen nosiseptif berjalan dengan simpatetik lumbal, kemudian berjalan keatas sampai pada bagian bawah simpatetik thorakal dan masuk ke medula spinalis antara T10 dan L1 melalui white rami communicantes, berjalan melalui radiks posterior dan bersinaps dengan interneuron di tanduk dorsal medula spinalis. Sensasi kala II (mulai pembukaan servik lengkap sampai kelahiran bayi) timbul karena distensi dasar pelvis, vagina dan perineum. Impuls nyeri berjalan melalui saraf pudendus dan masuk ke medula spinalis pada S2 sampai S4.
Transmisi nyeri pada serabut saraf di medula spinalis
Serabut utama nyeri (delta A dan C) mencapai tanduk dorsal medula spinalis dari perifer ke lamina Rexed I dan II. Sel-sel dari lamina Rexed II memiliki hubungan sinaptik dengan lapisan IV-VII. Sel-sel dari lamina I dan V tanduk dorsal membentuk traktus spinotalamikus ascenden. Beberapa neuron ini memiliki enkhepalin sebagai neurotransmitter. Enkephalin merupakan suatu bahan endogen yang mampu menghalangi transmisi nyeri yang merupakan opioid endogen. Pada tingkat medula spinalis, reseptor opioid terdapat ujung presinaptik neuron primer dan pada tingkat interneural tanduk dorsal. Pada tingkat supraspinal, terlibat subsistem yang berbeda, termasuk didalamnya sistem adrenergik descenden, serotonergik dan sistem opioid.
Konsekuensi Nyeri Persalinan
Nyeri pada proses persalinan dapat menyebabkan konsekuensi fisiologis dan psikologis.
1. Konsekuensi fisiologis
Konsekuensi fisiologis yang diakibatkan oleh nyeri persalinan pada sistem pernafasan, sistem kardiovaskuler, neuroendokrin dan sistem gastrointestinal. Pada sistem pernafasan, nyeri persalinan dapat menyebabkan hiperventilasi yang akan berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Pengaruh pada sistem kardiovaskuler berupa peningkatan curah jantung, peningkatan tekanan darah melalui aktifitas simpatis dan peningkatan venous return yang diasosiasikan sebagai akibat kontraksi uterus. Keadaan ini dapat menjadi masalah pada pasien penyakit jantung dan preeklampsi. Konsekuensi nyeri persalinan pada neuroendokrin yaitu meningkatkan sekresi katekolamin ibu yang merupakan faktor resiko untuk terjadinya konstriksi uteroplasental. Sistem gastrointestinal diduga mengalami keterlambatan pengosongan lambung dan peningkatan sekresi asam lambung.(3,4,5)
2. Konsekuensi psikologis
Nyeri persalinan berat dapat berakibat terjadinya stres emosional jangka panjang dengan konsekuensi pada kesehatan mental maternal dan hubungan dengan keluarga.(3)
Penatalaksanaan Nyeri Persalinan
Penatalaksanaan nyeri persalinan dapat dilaksanakan baik secara farmakologi maupun non farmakologi. Metode farmakologi dilakukan dengan :
Parenteral
a. Opioid asli, contohnya pethidin (meperidin), morfin, diamorfin, fentanil dan remifentanil. Efek analgesia berupa sedasi dan sering menyebabkan kerusakan pada plasenta sehingga ibu dan janin membutuhkan monitoring selama dan sesudah persalinan.
b. Agen gabungan, contohnya meptanizol dan tramadol, menunjukkan bukti efektifitas yang lebih baik dan lebih aman dari pada opioid asli.
Inhalasi (N2O)
Metode non farmakologi dalam manajemen nyeri persalinan dapat dilakukan dengan:
1. Memberikan dukungan psikologi baik dari pasangan, keluarga dan penolong persalinan, menyediakan lingkungan yang nyaman, psikoprofilaksis contoh : musik, teknik pernafasan, visualisasi, teknik relaksasi dan pijat (massage).
2. Hipnotis : Membutuhkan ahli hipnotis yang berpengalaman, 10-20% wanita tidak cocok dengan teknik hipnotis dan efek samping yang dapat terjadi adalah status ansietas.
3. Air hangat, biasanya digunakan pada kala I dan kala II awal dalam persalinan. Panas berfungsi sebagai analgesia sedangkan daya apung berfungsi sebagai relaksant.
4. Aromaterapi, Refleksologi dan Akupunktur : perannya sangat terbatas.
5. TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) : sering digunakan pada persalinan awal dan untuk nyeri yang minimal.
6. Lain-lain : termasuk dekompresi abdominal dan teknik distraksi.
TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION (TENS)
Sejarah TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation)
Teknik elektroanalgesia ini telah dikenal sejak 2500 SM di Mesir, dimana mereka telah menggunakan ikan listrik untuk mengobati beberapa jenis penyakit. Pada tahun 46 SM, seorang dokter Romawi bernama Scribonius Largus mendokumentasikan pemakaian elektroanalgesia ini. Elektroanalgesia mengalami peningkatan popularitas seiring dengan perkembangan generator elektrostatik diabad 18 dan mengalami kemunduran pada abad 19 dan awal abad 20. TENS mulai dikembangkan lagi pada tahun 1965 oleh Melzack dan Wall dengan mengemukakan alasan fisiologis yang rasional mengenai efek elektroanalgesia. Mereka mnyatakan bahwa penyampaian transmisi sinyal nyeri dapat diinhibisi dengan aktifitas pada saraf aferen perifer (berdiameter besar) atau melalui aktifitas pada jaras inhibisi nyeri yang turun dari otak. Stimulasi elektris frekuensi tinggi secara perkutaneus digunakan untuk mengaktifkan saraf aferen perifer yang berdiameter besar dan stimulasi ini dapat meredakan nyeri kronik pada pasien. Shealy, Martiner dan Reswick menemukan bahwa stimulasi dari kolumna dorsalis yang membentuk jaras transmisi sentral dari saraf perifer yang berdiameter besar juga dapat meredakan rasa nyeri.
TENS merupakan salah satu teknik elektroanalgesia non-invasif yang telah digunakan secara luas diberbagai tempat praktek ahli fisioterapi, perawat dan bidan. TENS melibatkan aliran listrik lemah melalui elektroda yang ditempelkan pada permukaan kulit. Elektroda ditempatkan pada beberapa tempat ditubuh, kemudian arus dialirkan melalui kabel dengan frekuensi dan intensitas yang disesuaikan untuk mendapatkan efek optimal selama dan setelah stimulasi.
Mekanisme Analgesia TENS
Mekanisme kerja TENS dalam menghilangkan nyeri diduga adalah melalui :
Inhibisi presinaptik pada kornu dorsal medula spinalis.
Pengontrolan nyeri secara endogen melalui endorphin, enkhepalin dan dynorphin.
Inhibisi langsung serabut saraf yang tereksitasi abnormal.
Restorasi input aferen.
Penelitian di laboratorium menunjukkan hasil bahwa stimulasi listrik oleh TENS mengurangi nyeri melalui hambatan nosiseptif pada tingkat presinaptik pada kornu bagian dorsal. Sehingga menghambat transmisi ke sentral. Rangsangan listrik pada kulit mengaktifasi ambang rendah serabut saraf bermyelin. Input aferen dari serabut ini menghambat propagasi nosiseptif yang dibawa oleh serabut-serabut C kecil tak bermyelin dengan menghambat transmisi sepanjang serabut saraf ini ke target sel (sel-T) yang terdapat pada substansia gelatinosa kornu dorsal.
Mekanisme analgesia yang dihasilkan oleh TENS dapat dijelaskan dengan teori pengontrolan gerbang (Gate Control Theory) oleh Melzack dan Wall. Teori ini menjelaskan bahwa serabut syaraf dengan diameter kecil yang membawa stimulus nyeri akan melaui pintu yang sama dengan serabut yang memiliki diameter lebih besar yang membawa impul raba (mekanoreseptor), apabila kedua serabut saraf tersebut secara bersama-sama melewati pintu yang sama, maka serabut yang lebih besar akan menghambat hantaran impuls dari serabut yang lebih kecil. Gerbang biasanya tertutup, menghalangi secara konstan transmisi nosiseptif melalui serabut C dari sel perifer ke sel-T. Jika timbul rangsangan nyeri perifer, informasi dibawa oleh serabut C mencapai sel-T dan gerbang akan terbuka, menyebabkan transmisi sentral ke Thalamus dan korteks dimana impuls akan diinterpretasikan sebagai nyeri. TENS berperan dalam mekanisme tertutupnya gerbang dengan menghambat nosiseptif serabut C dengan memberikan impuls pada serabut bermyelin yang teraktifasi.
TENS yang berfrekuensi rendah bekerja terutama dengan menghasilkan senyawa kimia opiod endogens dan efeknya dapat berkurang atau hilang dengan pemberian antagonis reseptor opioid. b endorfin akan meningkat konsentrasinya pada aliran dan cairan spinal setelah penggunaan TENS baik yang berfrekuensi rendah ataupun tinggi. Senyawa ini akan menginhibisi sinyal nyeri di medulla spinalis. Senyawa kimia ke 2 yang dikeluarkan susunan saraf pusat sebagai respon dari TENS adalah opioids endogens yang menghambat transmisi nyeri pada substansia gelatinosa di medulla spinalis.
Teknik dan Alat TENS
TENS menggunakan alat elektrik berukuran kecil yang untuk menghantarkan impuls listrik ke kulit. Satu unit TENS terdiri dari pembangkit sinyal listrik, baterai danelektroda. Parameter stimulasi yang biasa dipakai adalah :
Amplitudo : Intensitas rendah, comfortable level dan diatas ambang. Luasnya denyut (durasi) : 10 – 1000 mikro detik. Laju denyut (frekuensi) : 80 – 100 impuls perdetik (Hz), 0,5 – 10 Hz jika intensitas disetel tinggi.
Pada saat memakainya pasien diminta untuk mencoba berbagai frekuensi dan intensitas untuk mendapatkan kontrol nyeri yang terbaik bagi individu yang bersangkutan. Posisi elektroda dipasang pada daerah yang sakit (dapat juga pada daerah lain seperti titik akupunktur, trigger point, saraf kulit) untuk mendapatkan perbandingan hasil yang lebih baik.
Ada tiga pilihan metode terapi dengan TENS yaitu :
1. Konvensional TENS
Konvensional TENS menggunakan frekuensi tinggi (40-150 Hz) dan intensitas rendah, pengaturan arus antara 10-30 mA, durasinya pendek (diatas 50 mikrodetik). Onset analgesia pada metode ini bersifat sedang. Nyeri hilang bila alat dihidupkan dan biasanya kembali lagi bila alat dimatikan. Setiap harinya pasien memasang elektroda sepanjang hari, stimulus diberikan dengan interval 30 menit. Pada individu yang merespon baik, akan didapatkan efek analgetik sampai beberapa lama setelah penggunaan alat dihentikan.
2. Acupuncture Like TENS (AL-TENS)
Pada metode ini digunakan stimulus dengan frekuensi rendah dimulai dengan 1-10 Hz, intensitas tinggi, tetapi masih dapat ditoleransi pasien. Metode ini lebih efektif dari pada konvensional TENS, tetapi ada beberapa pasien yang merasa kurang nyaman. Metode ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak respon terhadap konvensional TENS.
3. Intense TENS
Menggunakan stimulus dengan intensitas tinggi dan frekuensi tinggi. Cetusan arus dilepaskan 1-2 Hz, dengan frekuensi masing-masing cetusan 100 Hz. Tidak ada keuntungan khusus metode ini dibandingkan dengan konvensional TENS.
TENS digunakan untuk secara selektif mengaktifkan saraf aferen Aβ yang menyebabkan inhibisi transmisi nosiseptif di medula spinalis. Dinyatakan bahwa mekanisme kerja dan profil analgesik AL-TENS dan intense-TENS berbeda dari TENS konvensional dan metode tersebut lebih berguna dibanding konvensional TENS, karena TENS konvensional hanya memberikan sedikit keuntungan. Ada beberapa penelitian yang melaporkan bahwa terdapat bukti yang tidak begitu kuat yang mendukung penggunaan TENS dalam manajemen nyeri post operasi dan nyeri persalinan. Tetapi, temuan ini telah dipertanyakan karena bertolak belakang sekali dengan pengalaman klinis dan akan sangat tidak tepat untuk menolak penggunaan TENS pada nyeri akut sampai terdapat bukti atau alasan yang menerangkan perbedaan antara pengalaman klinis dengan penelitian klinis di eksplorasi lebih lanjut. Review sistematik menunjukan hasil yang lebih positif mengenai penggunaan TENS pada nyeri kronis. Sehingga dibutuhkan penelitian yang lebih baik untuk menentukan perbedaan efektifitas antara berbagai tipe TENS, dan untuk membandingkan cost-effectiveness (efektivitas biaya) TENS dengan intervensi analgesik konvensional dan eletrokterapi lainnya
Indikasi dan Kontraindikasi TENS
TENS telah digunakan untuk tipe dan kondisi nyeri yang bervariasi seperti low back pain (LBP), myofascial dan nyeri artritis, nyeri yang dimediasi oleh saraf simpatis, inkontinensia, nyeri perssalinan, nyeri neurogenik, nyeri viseral dan nyeri post operasi.
Indikasi TENS :
1. Nyeri neurogenik : nyeri yang dimediasi saraf simpatis, nyeri post herpetik, nyeri trigeminal, nyeri fasial atipikal, avulsi pleksus brakialis dan nyeri setelah destruksi medula spinalis (Spinal Cord Injury = SCI).
2. Nyeri muskuloskeletal : nyeri sendi pada artritis reumatoid dan osteoartritis, nyeri akut post operasi (post thorakotomi), nyeri akut post trauma. Setelah operasi, TENS dapat digunakan untuk nyeri level ringan sampai sedang dan tidak efektif untuk nyeri berat.
3. Nyeri viseral, nyeri persalinan dan dysmenorrhea.
4. Keadaan lain : angina pektoris, dan inkontinensia, memperbaiki fungsi motorik pada pasien post stroke, mengontrol muntah pada pasien dengan kemoterapi, penyembuhan post operasi dan nyeri post fraktur.
Kontraindikasi TENS :
1. TENS tidak boleh digunakan pada pasien dengan pacemaker pada jantung atau pasien dengan penyakit jantung.
2. TENS tidak boleh digunakan pada pasien epilepsi.
3. TENS tidak boleh digunakan selama kehamilan preterm.
4. Untuk mengurangi resiko menginduksi persalinan, TENS sebaiknya tidak diletakan diatas uterus yang sedang membesar tersebut
5. TENS tidak boleh digunakan diatas sinus karotis, mengingat resiko untuk terjadinya akut hipotensi melalui reflek vasovagal.
6. TENS tidak boleh digunakan didalam mulut atau pada daerah kulit yang rusak atau luka.
7. Elektroda tidak boleh digunakan pada area kelainan sensoris (pada kasus lesi saraf, neuropati).
8. Penggunaan TENS harus diawasi ketat pada pasien dengan stimulator medula spinalis atau pompa intratekal.
PENGGUNAAN TENS PADA NYERI PERSALINAN
Nyeri pada proses persalinan merupakan keadaan yang sangat dikhawatirkan pada ibu yang akan menghadap persalinan. Intensitas nyeri pada persalinan bervariasi umumnya ibu akan merasa sangat nyeri pada proses persalinan. Tetapi ada sebagian kecil ibu yang tidak merasakan nyeri yang berarti pada persalinan mereka. Rasa kekhawatiran akan persalinan dapat menimbulkan sensasi nyeri tersendiri pada proses persalinan.
Pada persalinan diharapkan ibu hamil dapat melewati proses persalinan dengan nyaman dan tidak menimbulkan cacat emosional. Oleh karena itu diperlukan penanganan untuk mengatasi rasa nyeri yang timbul dalm proses persalinan.
Ada beberapa metode yang digunakan untuk mengatasi rasa nyeri yang timbul akibat proses persalinan. Metode farmakologi dengan penggunaan obat-obatan : beberapa diantaranya adalah penggunaan nitrous oksida, pethidhin, morphine, anestesi epidural, anestesi spinal, blokade saraf dan anestesi umum. Metode non pharmakologi : beberapa metode ini diantaranya adalah relaksasi dan pijat (massage), air hangat dan TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation). TENS yaitu penggunaan gelombang listrik para kulit melalui permukaan elektroda untuk mengurangi rasa nyeri terutama yang ditimbulkan akibat persalinan.
Mekanisme kerja TENS.
Stimulasi TENS sebagai penghilang nyeri persalinan dilakukan dengan mengirimkan impuls bifasik, panjang impuls 0,25 m/dtk, frekuensi dan amplitudo disesuaikan. Rentang amplitudo yang digunakan adalah 0-200 volt sedangkan rentang frekuensi 10-150 Hz. Elektroda dibuat dari metal dengan area aktif 30 x 80 mm dan diletakkan pada punggung pasien secara simetris sesuai dengan jaras nyeri pada persalinan kala I (T10-L1) dan pada persalinan kala II (S2-S3). Untuk mendapatkan efek analgesia optimal, amplitudo stimulus ditingkatkan sampai level dimana terjadi fasikulasi otot disekeliling elektroda. Stimulasi intensitas tinggi digunakan selama kontraksi uterus pada puncak nyeri selama 1 menit dan stimulasi dengan intensitas rendah digunakan selama persalinan kala I. Kondisi ibu dan janin harus dimonitor selama proses persalinan.
Para produsen sekarang telah memproduksi alat TENS yang didesain khusus untuk kebidanan yang memiliki channel ganda dan tombol kontrol ‘boost’ untuk nyeri kontraksi.
Teori penghantaran rasa nyeri yang dapat menjelaskan mekanisme kerja TENS adalah teori ‘Gate Control’ (Melzack & Wall, 1965). Teori ini menjelaskan bahwa serabut syaraf dengan diameter kecil yang membawa stimulus nyeri akan melaui pintu yang sama dengan serabut yang memiliki diameter lebih besar yang membawa impul raba (makanoreseptor), apabila kedua serabut saraf tersebut secara bersama-sama melewati pintu yang sama, maka serabut yang lebih besar akan menghambat hantaran impuls dari serabut yang lebih kecil.
Efektifitas TENS terhadap nyeri persalinan.
Penggunaan alat ini untuk mengurangi rasa nyeri akibat persalinan masih jarang diteliti. Beberapa survey menyebutkan bahwa banyak ibu hamil tertarik menggunakan alat ini pada persalinan mereka. Popularitas penggunaan TENS untuk meredakan nyeri saat persalinan meningkat akibat adanya laporan dan penelitian yang menyatakan kepuasan pasien dengan penggunaan TENS tanpa harus ada kelompok kontrol.
Augustinsson et al menjadi pionir penggunaan TENS di kebidanan dengan menempatkan TENS pada vertebre yang bersesuaian dengan saraf eferen nosiseptif yang berhubungan dengan nyeri saat kala I dan kala II persalinan (cth, T10-L1 dan S2-S4, berurutan, gambar 1). Mereka melaporkan bahwa 88% dari 147 orang wanita mengalami penurunan intensitas nyeri (nyerinya mereda) dengan metode ini, walaupun penelitian ini tidak menggunakan kontrol grup plasebo.
Penelitian Kaplan B dkk juga menyatakan keefektifan TENS dalam mengatasi nyeri persalinan. Sampel yang digunakan pada penelitiannya adalah 104 wanita dengan 46 nullipara dan 58 multipara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 72% nullipara dan 69% multipara menyatakan TENS efektif terhadap nyeri persalinan dengan 65% multipara menyatakan TENS sama efektifnya dengan metode penghilang nyeri yang pernah digunakan pada persalinan sebelumnya.
Pengujian efektifitas TENS sebagai analgesia nyeri persalinan pada 100 wanita di Mumbai oleh Pandole dkk. Dalam penelitian ini digunakan TENS dengan amplitudo antara 0-200volts dan frekuensi berkisar antara 10-150 herzt. Elektroda logam ditempatkan pada T10-L1 pada kala I dan S2-S3 selama kala II. Ransangan dengan intesitas tinggi diberikan saat kontraksi dan ransangan dengan intesitas rendah saat tidak kontraksi. Cara ini memberikan hasil 74% pasien menyatakan TENS dapat menghilangkan nyeri dengan baik, 24% menyatakan efek yang biasa dan hanya 2% yang tidak merasakan efek TENS sebagai penghilang nyeri persalinan dan sebagian besar menyatakan keinginan untuk menggunakan TENS pada persalinan berikutnya.
Kaplan.B dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa para pasien yang telah menggunakan TENS untuk mengurangi rasa nyeri selama masa persalinan telah mengungkapkan kepuasan yang mereka dapatkan. Dan tidak menimbulkan kelainan pada fetal heart rate atau efek samping lain pada bayi. Hal serupa didapatkan pada penelitian Pandole dkk. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa TENS lebih efektif pada persalinan kala I dari pada kala II dan tidak ada pengaruh durasi pemakaian TENS dengan APGAR score janin. Beberapa pengarang juga telah menandai keuntungan TENS dalam mengurangi lamanya persalinan.
Kaplan.B menguji keampuhan dari alat TENS baru yang telah didesain dan dibuat di Israel menurut pada spesifikasi tertentu. Dalam penelitian ini, digunakan tehnik yang sama dengan studi-studi sebelumnya yang menggunakan TENS untuk mengurangi nyeri pada persalinan. Kenyataannya bahwa wanita-wanita yang mau berpartisipasi, termasuk multipara yang telah menggunakan analgesi lain pada persalinan sebelumnya, mengikuti studi berdasarkan keinginan mereka sendiri. Sebagian besar ibu melahirkan yang pernah menggunakan TENS, dengan mengabaikan riwayat obstetri mereka atau penggunaan analgesi selama persalinan sebelumnya, menemukan bahwa TENS efektif untuk mengontrol nyeri pada persalinan mereka.
Dikatakan juga bahwa nyeri persalinan sangat hebat pada kala II, sehingga TENS tidak cukup efektif. Oleh karena itu penggunaan TENS yang diberikan pada awal kala I, mereka akan memerlukan tambahan analgetik pada akhir kala I sesuai tingkat dilatasi serviks, meski dosis yang diperlukan lebih kecil.
Walaupun Kaplan.B telah menggambarkan penemuan TENS yang signifikan terhadap kala I persalinan, kecenderungan yang sama dapat dilakukan juga pada kala II yang sama baiknya tapi hasil yang didapat masih mengandung bias karena kemungkinan kala II berlangsung lebih lama akibat menerima analgesi blok epidural. Penjelasan yang mungkin untuk penemuan pada kala II ini adalah karena adanya ketidaknyamanan dan kegelisahan ibu yang disebabkan oleh penggunaan TENS segera setelah masuk kamar bersalin. Untuk itu diperlukan edukasi yang baik sebelum menggunakan TENS dalam persalinan.
Walaupun penelitian-penelitian diatas menunjukan keberhasilan TENS dalam mengurangi nyeri persalinan namun beberapa penelitian terakhir memberikan hasil yang berbeda. Dalam review sistematis kredit diberikan pada penelitian yang menggunakan skor metodologis yang tinggi seperti penelitian Ploeg et al, Harrison et al, dan Thomas et al. Van der Ploeg et al melaporkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara TENS aktif dan TENS palsu pada 94 orang wanita yang digunakan sebagai intervensi analgesik tambahan. RCT oleh Thomas et al terhadap 280 parturien, menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan antara TENS aktif dan TENS palsu pada intervensi analgesik atau skor nyerinya. Yang menarik pada penelitian oleh Harrison et al dan Thomas et al, pada kondisi tersamar ganda para wanita lebih menyukai TENS aktif jika dibandingkan dengan TENS palsu.
Tetapi, hal ini berlawanan dengan pengalaman klinis yang dialami oleh bidan, dokter dan tingkat kepuasan pasien dalam hal penggunaan TENS. Sangat mungkin bahwa, masalah metodologis yang berhubungan dengan intervensi yang didasarkan pada-teknik pengamatan RCTs, mungkin dapat menimbulkan bias terhadap outcome dari review sistematik. Pemulihan rasa nyeri yang self-reported (dilaporkan sendiri) mungkin tidak terlalu bisa diandalkan, jika si pasien mengalami kondisi emosional dan traumatik yang tidak stabil, seperti yang terjadi pada berbagai tahap persalinan. Respon yang diharapkan saat si anak lahir, saat dimana si wanita merasa relaks dan mungkin dalam kondisi yang lebih baik, untuk menilai dan menggambarkan efek dari intervensi, mungkin akan jauh lebih cocok digunakan
EFEK SAMPING TENS DALAM PERSALINAN
Efek samping TENS sangat sedikit dan kebanyakan bersifat hipotetis dan hanya sedikit yang melaporankan kasus efek samping TENS yang bisa ditemukan dalam literatur. Walaupun begitu, terapis sebaiknya berhati-hati dalam memberikan TENS pada sekelompok pasien. Pada kepustakaan disebutkan efek samping penggunaan TENS selama persalinan antara lain :
· Wanita dengan kehamilan trimester I efek TENS terhadap perkembangan fetus masih belum diketahui secara pasti (walaupun belum ada laporan yang mengatakan terjadinya gangguan pertumbuhan).
· Untuk mengurangi resiko menginduksi persalinan, TENS sebaiknya tidak diletakan diatas uterus yang sedang membesar tersebut.
· Beberapa pasien melaporkan mengalami post-stimulasi analgesia walaupun durasi efek bervariasi, yang bisa berlangsung antara 2 jam hingga 18 jam. Ini mungkin menggambarkan fluktuasi alami terhadap gejala dan harapan pasien akan durasi terapi dibanding efek spesifik yang diinduksi TENS. Diyakini bahwa analgesi post TENS lebih lama pada AL-TENS dibanding konvensional TENS, dan hal ini didukung oleh penelitian eksperimental. Walaupun begitu, masih banyak yang harus dilakukan untuk menentukan time course efek analgesik berbagai jenis TENS.
· Pada 33% pasien dapat terjadi iritasi kulit dan pada tempat elektroda dapat terjadi kekeringan kulit akibat penggunaan gel.
· Pasien mungkin mengalami iritasi kulit akibat TENS seperti warna kemerahan disekitar tempat menempelnnya elektroda. Hal ini umum ditemukan akibat adanya dermatitis di tempat kulit berkontak dengan elektroda, yang diakibatkan oleh bahan elektroda, gelnya atau plester pelekatnya. Pengembangan elektroda hipoalergi telah secara signifikan mengurangi insiden dermatitis kontak. Pasien disarankan untuk membersihkan kulit (dan elektroda jika diindikasikan oleh produsennya) setelah pemakaian TENS, dan pada pemakaian harian sebaiknya elektroda di tempelkan pada kulit yang bersih.
· Gangguan pada sensasi kulit. Elektroda yang dipasang pada kulit dapat menimbulkan iritasi atau terbakar akibat stimulas yang berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Conklin KA. Analgesia dan Anestesia Obstetrik. Esensial Obstetri dan Ginekologi. WB Saunders Company, Philadelphia, 2001;149-62
2. Vincent RD, Chestnut DH. Epidural Analgesia During Labor. American Academy of Family Physician. November 15.1998
3. Charlton JE. Pain and Pregnancy and Labor. Core Curiculum for Professional Education in Pain. IASP Press, Seattle, 2005;1-3
4. Youngstrom PC. Obstetric Anesthesia. O’Grady (Ed). Operative Obstetrics. William and Wilkins, Baltimore, 1996;96-120
5. Susilo. Labor Analgesia. Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Berkala (PIB) XI IDSAI, Medan 4-7 Juli 2002;216-22
6. Johnson M. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) Low Frequency Currents, 2003;259-82
7. Kaplan B, Rabinerson D, Lurie S, et all. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) for Adjuvant Pain-Relief During Labor and Delivery. International Journal of Gynecology and Obstetrics:60:1998;251-5
8. Cunningham FG, McDonald PC, Gant NF, et all. Obstetrics Anesthetics. William Obstetrics. 22th ed, Appleton & Lange a Simon and Schuster Company, New York, 2005;477-9
9. Fishburne JI. Obstetric Anesthesia and Analgesia. Danforth’s Obstetrics and gynekology. 7th ed. JB Lippincot Company, Philadelphia, 1994;129-44
10. Forster RM. Local Anesthesia in Obstetrics. Sciarra JJ. Gynekology and Obstetrics. Revised ed. 92. JB Lippincot Company, Philadelphia, 1992 :vol3;29.
11. Harry O. Ilmu Kebidanan : Patologi dan Fisiologi Persalinan. Yayasan Essentia Medika, Jakarta, 1996;377-411
12. Shnider S, Levison G, Ralston D. Regional Anesthesia for Labor and Delivery. Anesthesia for Obstetric. 3th Eds. William and Wilkins, Baltimore, 1993;135-52
13. Young J. Sources of Pain During Labor and Birth. Childbirth, 1998. http://www.childbirth.org/
14. Sukra W. Pendekatan Baru dalam Anestesi Obtetrik. Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Berkala (PIB) XI IDSAI, Medan 4-7 Juli 2002;200-9
15. Morgan E, Mickhail M. Obstetric Anesthesia. Clinical Anesthesiology. First ed., Appleton & Lange, London, 1992;611-29.
16. Chestnuts DH,Gibbs CP : Obstetric anaesthesia, in Obtetrics, Normal & Problem Pregnancies,2nd.ed. New York, Churchill Livingstone Inc, 1991.
17. Sulistio K. Teknik Baru untuk Analgesia Persalinan. Bagian anestesiologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
18. Kaye V. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation. eMedicine. Journal, January 29, 2002:3:1
19. Macnair T. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation. Oktober 10, 2005
20. Pandole A, Kore SJ, Nemade Y, et all. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation for Labor Analgesia.