Aku bangga menjadi praktisi Gentle Birth
Ya itu yang saya rasakan saat ini, walaupun masih banyak sekali teman-teman sejawat yang memandang sebelah mata, mencibir bahkan mengucilkan. Tapi ini adalah pilihanku.
Gentle birth itu masih kontroversi, namun apa sich yang tidak kontroversi di dunia ini?
Setelah belajar tentang hypnobirthing, gentle birth , birth trauma, self healing serta psikologi seorang wanita hamil dan bersalin, yang mana ini tidak pernah saya dapatkan di bangku sekolahan, membuat saya semakin belajar dan belajar lagi.
Dan guru saya saat ini adalah para ibu bersalin dan para bayi yang lahir.
Saya merasa saya sangat beruntung, karena saya bisa belajar lagi dan memperbaiki “kesalahan-kesalahan” yang pernah saya lakukan di masa lalu, dan saya merasa beruntung karena saya bisa menjadi saluran berkat bagi mereka yang akhirnya bisa melahirkan dengan lancar, nyaman dan minim trauma. Saya juga sangat merasa beruntung karena melalui tangan inilah saya bisa menyambut lahirnya seorang bayi suci kebumi ini dengan penuh kelembutan, penuh cinta dan penuh kasih.
Merubah sebuah paradigma memang tidaklah mudah. Namun BISA!
Merubah mind set seseorang apalagi mind set khalayak ramai bukan suatu hal yang mudah, Namun BISA!
Semua butuh perjuangan, namun saya yakin Tuhan tahu dan mengerti maksud saya. Dan saya yakin Dia mau bukakan jalan untuk itu.
Gentle Birth adalah pilihanku……
Keajaiban Gentle Birth
Gentle birth sebenarnya adalah proses persalinan dimana kita di tuntut untuk kembali merunduk ke alam, mempercayai kekuatan tubuh yang memang didesain untuk melakukan “tugasnya” yaitu melahirkan keturunan.
Gentle Birth sebenarnya bukanlah hal yang baru, namun ketika tehnologi, politik dan bisnis mulai ada dan lekat dengan proses persalinan dan kelahiran, maka cara yang sangat alami menjadi terlupa dan kemudian akan terasa baru jika hal ini di munculkan kembali.
Ini adalah sejarah tentang proses persalinan dan kelahiran, di Amerika, Dahulu sebelum tahun 1900-an, sebagian besar persalinan di bantu oleh bidan. Sedangkan di Indonesia dahulu dua generasi di atas saya, rata-rata dibantu oleh dukun bayi, Seorang perempuan yang dikenal dengan sentuhannya yang lembut dan ketrampilan mereka tidak di dapat dari lembaga pendidikan atau buku, melainkan dari sesama bidan, melalui pengalaman langsung serta pengetahuan dan keyakinan bahwa proses persalinan adalah peristiwa yang sehat dan alami. Peralatan yang mereka gunakan adalah tangan mereka dan perhatian mereka. Dan saat itu keyakinan dan budaya yang ada adalah bahwa persalinan adalah urusan perempuan, namun semenjak kaum laki-laki ikut masuk dan terlibat dalam dunia kelahiran, maka proses persalinan menjadi sekedar peristiwa mekanis biologis semata. Bagi kaum laki-laki, sistem tubuh seorang perempuan yang melahirkan hampir tidak ada bedanya dengan pompa mekanis belaka, sehingga mereka menciptakan alat-alat yang membuat sistem tersebut bekerja dengan lebih baik dan sesuai dengan waktu yang mereka tentukan.
Di Eropa, dokter kandungan laki-laki dan bidan hidup secara berdampingan dan berbagi pekerjaan, dokter kandungan berwewenang untuk persalinan normal dan pathologis sedangkan bidan bertugas di persalinan normal, namun mereka tidak ada persaingan yang tidak sehat seperti di negara Amerika. Terutama di Finlandia, Swedia, Belanda, Spanyol, Jerman dan Australia yaitu negara-negara yang mana angka kematian ibu dan anaknya terendah di dunia, justru sebagian besar ibu bersalin normal dan di tolong oleh bidan. Bahkan sebagian besar para ibu melahirkan di rumah mereka sendiri. Lain halnya dengan di Amerika, yang mana merupakan negara urutan ke 50 di dunia, di mana tehnologi dan bisnis sangat kental di bidang persalinan dan kelahiran. Namun sayangnya sistem kesehatan kita hingga saat ini masih berkiblat ke Amerika. Sehingga tehnologi dan bisnis justru semakin “ikut-ikutan” kental sekali di sini. Di Indonesia masyarakat mulai memandang rendah ketrampilan yang dimiliki bidan apalagi dukun beranak/paraji dan menganggap bahwa pengakuan dari lembaga pendidikan lebih penting daripada sekedar pengalaman yang turun temurun. Banyak keraguan dan ketidak percayaan kepada kekuatan tubuh dan bayi bahkan kepada proses yang alami tersebut. Mereka lebih percaya pada tehnologi yang ada. Padahal kalau kita evaluasi lagi kurasa kita harus banyak belajar dari dukun beranak, lho!Kok bisa?! Ya mereka bisa tahu kapan sang ibu harus mengejan tanpa melakukan periksa dalam! Mereka tidak perlu melakukan episiotomi atau repot-repot menjahit perineum sang ibu, karena memang perineumnya tidak robek! Dan ibu hamil merasa sangat nyaman didampingi dukun beranak, ya karena mereka melakukan pendampingan terus menerus, memijat tubuh ibu, sedangkan bidan? Tidak sedikit ibu yang mengeluh di bentak-bentak oleh bidan/dokter, tidak sedikit ibu yang mengeluh di tinggal sendiri dan di biarkan sendiri merasakan ketidaknyamanan sedangkan bidan-nya terlalu sibuk berkutat dengan kertas administrasi dan asuhan kebidanan.
Lalu siapa yang salah? Bagaimana bisa seorang perempuan atau wanita membiarkan hal ini terjadi? Seperti kita ketahui bersama bahwa praktik pertolongan persalinan tidak terjadi begitu saja, namun terjadinya perubahan yang terus menerus seiring dan dipengaruhi oleh budaya dan situasi sosial. Sejak tahun 1900-an tersebut, seorang perempuan menganggap bahwa dokter dapat membantu mereka untuk menjalani proses persalinan lebih cepat dan aman, di bandingkan dengan bidan. Perempuan hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang cara kerja tubuh dalam melahirkan bahkan mereka telah kehilangan kepercayaan pada tubuhnya sendiri, mereka tidak lagi mengimani bahwa tubuh seorang perempuan di desain secara khusus dan sempurna oleh Tuhan untuk melahirkan. Mereka menyerah pada kekuatan yang mereka anggap lebih besar, dengan memilih untuk melahirkan di rumah sakit dengan bantuan dokter, bukan bidan. Bahkan perubahan sosial yang terjadi saat ini adalah semakin rumah sakitnya mahal maka semakin tinggi strata sosial seseorang. Semakin mahal biaya operasi sesar yang dilakukan maka semakin gengsi mereka naik tanpa mereka peduli akan trauma yang mereka dan bayi mereka alami setelah itu.
Budaya, pikiran bawah sadar, bisnis dan politik juga memegang peranan penting dalam hal ini. Mengapa budaya dan pikiran bawah sadar? Ya benar! Sejak kecil kita tahu bahwa kita di beri pelajaran bahwa kita harus takut dan patuh dengan dokter juga bidan. “Hayo…kalau kamu nakal nanti di suntik pak dokter lho!” atau “Ingat kata-kata pak dokter! Kamu harus manut kalau di bilangin pak dokter!” sebuah kalimat yang rasanya hingga saat inipun masih ada dan seringkali di ucapkan dan ditanamkan kepada anak-anak. Perlu di ingat bahwa sugesti yangdiberikan oleh orangtua kepada anaknya sangatlah kuat terekam di dalam pikiran bawah sadar, sehingga hingga Anda dewasa, tanpa disadari penanaman akan takut dan patuh kepada dokter atau bidan-pun sangat kuat. Lalu apa hubungannya dengan proses persalinan dan kelahiran? Tentu saja ada dan erat sekali hubungannya. Karena di dalam pikiran bawah sadar kita terekam memori bahwa dokter adalah orang yang tahu segalanya tentang kesehatan sehingga kita harus patuh, maka ketika dokter mengatakan kepada Anda bahwa Anda harus di Induksi, maka tanpa pikir panjang, tanpa memikirkan keuntungan, kerugian, efek samping dan resikonya Andapun akan cenderung langsung manut dan menuruti anjuran tersebut.
Mengapa bisnis dan politik juga berperan? Ya ini sangat jelas. Semakin banyak dan semakin sering obat-obatan dan tehnologi di gunakan, maka beberapa pihak akan semakin di untungkan dari segi bisnis. Perbedaan harga jasa antara persalinan normal dengan persalinan dengan tindakan terutama operasi sesar sangat jauh sekali. Persalinan normal menggunakan jasa bidan bisa saja hanya memakan biaya 500 ribu (sesuai dengan harga patokan dari jampersal/jaminan persalinan yang di programkan oleh pemerintah) sedangkan untuk melakukan operasi sesar bisa mencapai minimal 10 bahkan 20 kali lipatnya.
Hingga saat ini mengatasi rasa sakit adalah hal yang dianggap lebih penting bagi para wanita di bandingkan dengan tempat melahirkan atau siapa yang mendampingi. Sejak rumah sakit dan dokter menggunakan anestesi atau obat bius yang bisa menjadi “jawaban” atas kebutuhan ibu akan penghilang rasa sakit itu, maka “bisnis” dalam proses persalinanpun mereka rengkuh. Walaupun pada dasarnya para perempuan juga mendapatkan keuntungan dengan menjalani proses persaliann tanpa rasa sakit ini, namun sebenarnya mereka telah mengorbankan perannya untuk terlibat aktif dalam proses tersebut. Dan tindakan pembiusan ini ternyata memberikan perubahan yang signifikan dalam praktek pertolongan persalinan hingga sekarang. Adanya pergantian posisi melahirkan dari vertikal (tegak) menjadi horisontal (berbaring), membuat tanpa disadari tubuh perempuan di kondisikan dalam posisi “tidak berdaya” dan tidak mampu. Sehingga bayi harus dikeluarkan dari tubuh ibu dengan bantuan orang lain, maka muncullah forceps, vaccum, tindakan episiotomi, bahkan induksi. Kemudian setelah selesai melahirkan seorang ibu dibawa ke ruang pemulihan dan baru mengetahui jenis kelamin anaknya beberapa jam kemudian atau beru bertemu dengan bayinya beberapa jam kemudian, itupun dalam kondisi sang bayi sudah di letakkan di boks bayi atau di inkubator bersama dnegan bayi-bayi orang lain. Tidak ada bonding di jam pertama, tidak aada pengenalam ASI di awal kehidupan sang bayi, bahkan untuk menyusui anaknya saja harus di jadwal. Sebagian besar ibu di pisahkan dengan anaknya supaya ibu bisa beristirahat dan si bayi dapat dirawat oleh “ahlinya” di ruang bayi. Ironis! Namun skenario itulah yang terjadi dan berlaku hingga detik ini.
Bahkan sekarang ini, di jaman modern perempuan semakin kehilangan kepercayaannya terhadap kemampuan mereka untuk melahirkan anaknya dan telah mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada mereka yang Anda sebut “Ahlinya”. Dan kehilangan kepercayaan inipun berlanjut hingga pengasuhan dan kemampuan merawat bayi serta menyusui bayi Anda sendiri. Sehingga akhirnya terjadi pengalihan dari memberikan ASI menjadi beralih memberikan susu formula. Bahkan akhirnya banyak yang kemudian percaya bahwa susu hasil ramuan para ilmuwan yang dikemas dalam kaleng adalah lebih aman dan lebih baik bagi bayi manusia. Bahkan muncul anggapan bahwa Semakin mahal harga susu, maka semakin bagus kualitasnya. Lagi-lagi siapa yang di untungkan?
Banyak yang lupa bahwa tubuh perempuan di desai khusus untuk melahirkan dan menyusui anaknya. Bahkan sejak dia dilahirkan sebagai perempuan, kelenjar air susu tumbuh dan berkembang sehingga begitu seorang perempuan tersebut menarche (mens untuk pertama kalinya) maka payudaranya sudah SIAP untuk menyusui. Dan payudara ibu selalu cocok dan sesuai dengan kebutuhan anaknya. Sektor, nama Anjing saya saja ketika melahirkan enam anaknya semuanya tercukupi kebutuhannya karena puting susu nya juga sesuai dengan jumlah anaknya. Nah bagaimana dengan manusia, yang satu anak mempunyai “jatah” dua payudara? Tentu lebih dari cukup bukan?lalu mengapa Anda ragu? Mengapa Anda takut payudara Anda tidak cukup memproduksi susu untuk anak Anda? Dan mengapa Anda percaya begitu saja kepada para “ahli” yang menyatakan bahwa bayi Anda alergi terhadap ASI Anda? atau ASI Anda tidak cukup untuk bayi Anda?Apakah itu masuk akal?
Dari tulisan saya diatas sekilas terlihat bahwa banyak kekacauan yang terjadi selama proses persalinan, kelahiran dan pengasuhan anak. Namun sebenarnya ini bukan salah siapa-siapa. Tak bisa kita menyalahkan satu pihak. Mengapa? Ya! Karena para ibu percaya bahwa semua tindakan yang diberikan adalah untuk kebaikan dan keselamatan dirinya dan bayinya. Sedangkan para dokter dan bidan percaya bahwa mereka menyelamatkan perempuan dari ancaman kematian akibat proses persalinan. Namun apakah angka kematian ibu dan bayi menurun dengan drastis akibat hal ini? TIDAK! Hingga saat ini Angka kematian ibu dan anak di Indonesia masih menempati urutan 106 dari 127 negara di dunia.
Lalu bagaimana dengan bidan di Indonesia? Apa peranannya? WHO menyatakan bahwa 90% bahkan lebih, seorang wanita melahirkan normal. Dan ini adalah wewenang bidan. Sedangkan 10% adalah pathologi dan ini adalah wewenang dokter kandungan. Seperti yang saya tuliskan sebelumnya di Eropa bidan dan dokter saling berdampingan dan menjadi partner yang solid dan damai dalam pembagian tugas dan fungsinya. Namun tidak demikian di Indonesia. Jumlah bidan di Indonesia sangatlah banyak. Setiap kabupaten jumlah bidan bisa mencapai lebih dari 300 orang. Dimana tiap desa ada satu bidan yang bertanggung jawab. Namun mengapa hingga sekarang Indonesia masih tinggi angka kematian bayi dan ibunya?
Mari kita kembali ke pikiran bawah sadar, seperti yang sudah saya tuliskan di atas. Kemudian kita coba tilik kembali sistem pendidikan bidan yang ada di Indonesia. Sejak saya sekolah dulu saat itu saya sekolah di SPK (Sekolah Perawat Kesehatan) hingga sekolah bidan sampai sekarang, buku diktat pegangan atau Kitab (julukan yang sering kami terapkan untuk buku itu) dari 900 halaman lebih, hanya kurang dari 100 lembar yang membahas tentang proses persalinan normal. Itupun yang menulis adalah para dokter yang secara mind set otomatis lebih berfikir ke arah pathologi dibandingkan bidan yang lebih berfikir ke arah normal fisiologi. Dari 100 lembar yang berisi tentang persalinan normal itupun hanya membahas tentang fase dan tahapan proses persalinan normal, tidak membahas tentang cara yang alami seperti apa yang bisa bidan lakukan jika ada kelainan atau masalah. Sehingga tanpa disadari sudah terpola di dalam pikiran bawah sadar, mind set dan belive sistem para bidan bahwa proses persalinan normal adalah proses yang beresiko. Dimana ada kemungkinan ini dan itu yang bisa saja terjadi sebelum, selama dan setelah proses persalinan. Hal ini jugalah yang akhirnya tanpa disadari (kembali) membuat rasa takut muncul dengan kuat menyusup, mengiringi setiap langkah dalam pertolongan persalinan. Dan imbasnya adalah kembali lagi Logika mulai “turut campur” dalam peristiwa alami. Dinama mulai ada aturan waktu dalam proses persalinan yang akhirnya di ilmiahkan dan dibakukan menjadi standar yang di yakini bisa menjamin seorang perempuan selamat dalam proses persalinannya.
“setelah pembukaan lima, maka satu jam penambahan pembukaannya adlaah satu centimeter, sehingga jika seorang ibu sudah mengalami pembukaan lima, maka lima jam kemudian diharuskan sudah pembukaan lengkap.” Jika tidak, maka diagnosa potensial mulai muncul. Sehingga intervensi demi intervensi muncul dan akhirnya trauma demi trauma tercipta. Tak peduli apa penyebab atau akar masalah dari lambatnya pembukaan yang ibu alami, yang penting grafik lembaran yang digunakan pedoman tadi sudah tidak sesuai, maka dianggap gagal.
Ironis memang, kelahiran seorang bayi seolah-olah disamakan dengan kelahiran robot yang harus sesuai dengan prosedur dan waktu yang tepat menurut mereka. Dan sayangnya para ibu dan suami tidak diberikan atau tidak mendapatkan pengetahuan yang benar, jujur dan cukup akan hal ini. Sehingga “menyerahkan dengan Ahlinya” itu tadi yang membuat mereka tidak punya peran aktif bahkan tidak punya kuasa atas tubuhnya maupun atas bayinya sendiri.
Gentle Birth mulai Booming di Indonesia sejak saya mulai menggaungkan tentang gentle birth melalui media internet (website www.bidankita.com dan facebook bidankita) pada tahun 2009-2010, sejak Athisha (putri dari Reza Gunawan dan artis Dewi Lestari) lahir secara alami dengan riwayat ibunya yang melakukan operasi sesar sebelumnya di persalinan pertama, dan Athisha lahir di rumah, tanpa bidan yang mendampingi, hanya dewi dan reza saja. Lalu semakin booming lagi ketika mata dunia mulai tertuju pada ibu Robin Lim yang menjadi CNN Hero pada tahun 2011 akan karyanya yaitu gentle birth yang dia kembangkan sejak 2006 di Bali.
Perubahan dalam filosofi persalinan mulai terjadi, kegerakan akan pandangan yang beranggapan bahwa persalinan alami adalah yang terbaik mulai bermunculan. Pandangan akan proses persalinan merupakan proses normal alami dan proses yang pantas dirayakan menjadi conscern atau perhatian saat ini. Sehingga semakin banyak ibu dan ayah sebagai calon orang tua yang tersadar bahwa mereka harus kembali ke alam. Untuk mendapatkan proses persalinan yang minim trauma.
Saat ini saya sangat bersyukur karena semakin banyak calon orangtua yang mau memberdayakan diri untuk mau belajar dan peduli tentang proses persalinan dan kelahiran. Semakin banyak ibu yang belajar dan belajar tentang betapa hebat dan kuatnya tubuhnya dalam proses ini. Hingga saat ini sudah ratusan itu yang mampu melahirkan dengan lancar, nyaman, tanpa rasa sakit bahkan menyenangkan hingga mereka orgasme setelah mereka belajar gentle birth. Karena saya percaya bahwa ilmu pengetahuan adalah kekuatan! Semakin pintar calon orang tua dalam hal ini ibu, maka semakin bijak dia menentukan langkahnya terutama dalam pilihan proses persalinan.
Tantangan yang ada dan kami (para penggiat gentlebirth) memang sangat banyak sekali. Terutama dari teman sejawat yang mind setnya masih kontradiktif dengan filosofi yang ada dalam gentle birth. Masih banyak yang tidak mampu memandang proses kelahiran dan persalinan dari sudut pandang lain. Namun bersiaplah untuk berubah! Karena ilmu berkembang dan rasa nyaman, aman dan tenang adalah yang dibutuhkan para ibu saat melahirkan. Jadi mari siap untuk merubah paradigma.
Salam hangat
Yesie